Senator Fahira Idris mengatakan kekerasan berulang-ulang terjadi di dunia pendidikan, terutama di perguruan tinggi. Ini sudah seperti lingkaran yang hanya berputar pada orbitnya dan menemukan momentumnya, terutama di masa awal perkuliahan. Dalam kurun sebulan ini saja sudah terjadi dua peristiwa kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya beberapa mahasiswa.
Fahira berkata konsekuensi hukum yang harus ditanggung oknum mahasiswa pelaku tindak kekerasan pada tahun-tahun sebelumnya ternyata belum menjadi pelajaran berharga. Bahkan ancaman sanksi pemecatan hingga pidana penjara belum benar-benar menjadi efek jera sehingga tindak kekerasan, terutama yang dilakukan senior kepada junior, masih saja terjadi, bahkan beberapa di antaranya dengan pola dan kegiatan yang sama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Fahira, realitas kekerasan di perguruan tinggi yang masih saja terjadi walau sanksi tegas sudah diberlakukan menunjukkan kekerasan sudah menjadi mata rantai, bahkan budaya. Oleh karena itu, masing-masing kampus harus melakukan kajian komprehensif atas segala hal yang dapat memicu tindakan kekerasan sehingga bisa merumuskan strategi mencegahnya.
Tiap kampus, tambah Fahira, mempunyai potensi dan pola praktik kekerasan yang berbeda-beda, walau mungkin mempunyai gejala-gejala yang sama, misalnya bersemainya potensi kekerasan biasanya terjadi di tahun ajaran baru atau pada saat mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Keyakinan atau pembenaran bahwa melakukan tindak kekerasan kepada junior adalah hal yang biasa karena sudah menjadi tradisi, budaya, apalagi dianggap sebagai ajang memperkuat fisik dan mental, yang harus dihapus dari benak semua mahasiswa, karena keyakinan seperti inilah yang membuat kekerasan terus berulang.
"Jadi pendekatan mencegahnya harus komprehensif jika mata rantai kekerasan ini mau diputus. Saya berharap pimpinan kampus mengambil inisiatif ini agar tidak terus menjadi seperti pemadam kebakaran dalam setiap tindak kekerasan yang terjadi di kampus. Tantangan dunia pendidikan kita sangat berat. Harusnya praktik tindak kekerasan seperti ini sudah menjadi sejarah," ujar Fahira, yang merupakan Wakil Ketua Komite III DPD, yang salah satu lingkup tugasnya mengawasi gerak laju dunia pendidikan.
Pendidikan, terlebih pendidikan tinggi, lanjut Fahira, sejatinya adalah alat mentransformasi siapa saja menjadi manusia seutuhnya agar berani mengubah penindasan menjadi keadilan, ketertinggalan menjadi sebuah peradaban, dan kekerasan menjadi kedamaian.
"Institusi pendidikan itu muara mengalirnya semua kebaikan untuk mengubah sebuah masyarakat, bangsa, bahkan dunia agar menjadi lebih baik. Dan semua ini akan gagal jika praktik-praktik kekerasan, baik fisik maupun psikologis, apalagi sampai menghilangkan nyawa, masih terjadi. Mata rantai kekerasan ini harus segera diputus," pungkas Fahira.
Pada Januari 2017 ini, terjadi dua peristiwa kekerasan di perguruan tinggi hingga merenggut nyawa mahasiswa. Pertama, kekerasan yang terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, yang mengakibatkan satu mahasiswa tewas karena dianiaya seniornya. Kedua, meninggalnya tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta setelah mengikuti pendidikan dasar organisasi pencinta alam kampus, Mapala Unisi. (hri/tor)











































