Purwakarta Soroti Hebohnya Kasus Penjual Cobek

Purwakarta Soroti Hebohnya Kasus Penjual Cobek

Tri Ispranoto - detikNews
Kamis, 26 Jan 2017 14:59 WIB
Foto: Aditya Mardiastuti/detikcom
Purwakarta - Aktivitas anak dinilai kerap dibatasi. Akibatnya daya saing anak-anak saat dewasa semakin hari semakin memudar.

"Sekolah sekarang ngajarin apa? Ngajarin pelajaran. Pelajaran ujungnya untuk ujian, naik kelas, dan kelulusan. Akhirnya anak hanya mengejar nilai akademis. Di Purwakarta saya ubah semua dengan pola pendidikan berkarakter berbudaya yang lebih aplikatif dan produktif," kata Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi.

Dedi mengatakan itu saat memberi sambutan dalam acara kunjungan 500 pelajar MTS Darul Ma'arif Bandung di Aula Yudistira Pemkab Purwakarta, Kamis (26/1/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu perubahan mindset masyarakat pun dianggap Dedi malah membuat anak menjadi manja. Contohnya sorotan mengenai perjuangan anak yang berjalan kaki berkilo-kilo meter ke sekolah. Padahal zaman dulu perjuangan itu adalah merupakan hal biasa.

Sehingga, kata Dedi, dia mengubah gaya pendidikan di Purwakarta. Salah satunya dengan mengadopsi kebiasaan hidup Nabi Muhammad SAW yang saat kecil menjadi penggembala domba serta hidup dengan etika dan perilaku terpuji.

"Nabi Muhammad SAW dulu tukang angon domba. Tapi anak-anak sekarang disuruh menggembala domba tidak mau, anehnya makan dagingnya suka. Nabi juga dulu hidup sering mendapat cemoohan, tapi tidak serta-merta Beliau tersinggung. Zaman sekarang sedikit-sedikit (anak-anak) sudah merasa tersinggung," ungkapnya.

Lebih lanjut Dedi sempat 'mengkritisi' aparat dan pemerintah yang sering fokus terhadap hal-hal kecil dibanding dengan yang besar. Contohnya adalah kasus Tajudin yang disangkakan mengeksploitasi Dendi dan Cepi dengan berjualan cobek.

Sementara hal yang sering terlihat yakni pelajar menggunakan kendaraan ke sekolah atau tempat umum tidak menjadi perhatian serius. Contoh lain yakni penggunaan gadget dan media sosial oleh anak justru tidak diawasi oleh pemerintah.

"Kenapa sih anak yang jalan kaki berkilo-kilo meter (aparat dan pemerintah) ribut luar biasa dan ada anak jualan cobek ribut juga? Tapi yang setiap hari ada di depan mata kita seperti anak pakai motor tidak ribut, anak main gadget atau PS seharian juga tidak ribut," sesal pria yang akrab disapa Kang Dedi itu.

Dedi khawatir pola hidup seperti itu ditambah dengan orang tua yang terlalu memanjakan anak justru akan berdampak besar pada anak saat dewasa. "Pendidikan itu bukan sekadar ilmu pengetahuan tapi juga etika dan perilaku," ucapnya.

Di akhir sambutannya Dedi pun mengajak agar para pelajar untuk memulai pola hidup yang baru agar lebih produktif dan aplikatif. Tidak hanya itu dia pun berharap kebiasaan membantu orang tua di rumah agar menjadi perhatian selain akademis.

"Siap bantu orang tua? Semangat untuk hidup lebih baik? Semuanya semangat?," tanya Dedi.

"Siap! Semangat!" jawab para pelajar serentak.

Sementara itu ditemui usai acara Dedi mengatakan, hingga saat ini Pemkab Purwakarta masih konsisten dengan pola pendidikan berkarakter berbudaya Sunda yang sudah berjalan sejak lama. Beberapa program baru dari pendidikan tersebut yakni baca, tulis, dan kajian Al Quran juga Kitab Kuning bagi pelajar Muslim dan kitab keagamaan lain bagi non Muslim.

Teranyar yakni program pendidikan ideologi Pancasila yang melibatkan unsur TNI, Polri, PNS, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Juga pendidikan vokasional yang diadakan setiap dua minggu sekali di hari Selasa. Pola pendidikannya yakni pelajar diharuskan ikut membantu dan melihat langsung pekerjaan orangtua.

"Sampai saat ini kita tegas untuk menindak pelajar yang bawa kendaraan ke sekolah, termasuk tegas juga pada tempat penitipan motor. Dari yang semula kita sehari bisa tindak 50 pelajar, sekarang nyaris nol tindakan," tukas Dedi.

Seperti diketahui, Polres Tangsel menangkap dan menjebloskan Tajudin ke tahanan pada April 2016. Setelah 9 bulan diproses, Tajudin divonis lepas oleh PN Tangerang. Majelis hakim menilai apa yang dilakukan Tajudin bukanlah mengeksploitasi anak. Secara sosiologis, anak membantu orang tua dibenarkan secara hukum.

Selama 9 bulan Tajudin mendekam di balik jeruji hotel prodeo. Hakim pun memutus bebas Tajudin dari jerat pidana.

Sayangnya, jaksa malah mengajukan kasasi dan tetap yakin Tajudin bersalah, tapi masyarakat menilai sebaliknya. Para tokoh Jawa Barat meyakini Tajudin tidaklah bersalah karena dia membantu dua keponakannya untuk berjualan cobek, bukan mengeksploitasi anak. Pendekatan pidana kepada Tajudin dinilai tidak tepat karena akar masalah utamanya adalah kemiskinan. (nwy/mpr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads