Pencalonan Patrialis dinilai cacat hukum karena tidak transparan dan partisipatif. Pencalonan Patrialis juga dinilai melanggar Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. "Waktu itu kami persoalkan karena proses seleksi yang tidak transparan dan akuntabel. Dari pemerintah tidak ada pengumuman rekrutmen calon hakim konstitusi, tiba-tiba ada penunjukan (Patrialis)," kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, ketika dimintai konfirmasi lagi, Kamis (26/1/2017).
Latar belakang Patrialias yang bekas politikus Partai Amanat Nasional juga dipersoalkan. Dengan masuknya Patrialis, komposisi hakim MK berubah menjadi tidak seimbang, yakni: 4 orang berlatar partai politik, 3 orang berlatar hakim pengadilan, dan 2 orang berlatar akademisi/birokrasi. Komposisi yang tidak ideal tersebut dikhawatirkan akan mengganggu independensi MK karena dominasi kepentingan politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu rapor merah itu adalah terungkapnya skandal sel mewah milik Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu di Jakarta Timur. Hal itu pun menjadi pertanyaan ketika pejabat yang mendapat rapor merah kemudian diusulkan sebagai hakim konstitusi.
Kala itu, Koalisi Masyarakat Sipil, yang merupakan gabungan sejumlah organisasi kemasyarakatan, memberikan dua rekomendasi. Pertama, pembatalan penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah. Dan kedua, koalisi meminta pembentukan Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan menjalankan proses seleksi secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Pada Selasa, 13 Agustus 2013, Patrialis tetap dilantik menjadi hakim konstitusi. Kurang-lebih tiga tahun menjabat hakim konstitusi, Patrialis tersandung kasus hukum. Rabu malam, dia terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(erd/van)











































