Bapak tiga anak itu mengisahkan detik-detik 'penyergapan' yang dilakukan polisi pada dia saat diundang untuk makan malam bersama Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, di rumah dinasnya pada Senin (23/1/2016) petang. Dengan tatapan tajam dan sedikit berkaca Tajudin menceritakan apa yang dialaminya saat itu hingga proses hukumnya berakhir.
Pada awalnya Tajudin yang sudah menggeluti profesi sebagai penjual cobek selama bertahun-tahun kembali berjualan dengan teman-temannya yang masih satu daerah. Bedanya kali ini dua anak saudaranya bernama Dendi (15) dan Cepi (16) ikut dengannya untuk berdagang di Tanggerang, Banten.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya Tajudin bersama dua orang anak tersebut dan teman-teman seprofesi lainnya berangkat ke Tanggerang. Mereka tinggal di sebuah rumah petak sewaan yang berisi dua kamar, satu kamar mandi, dan satu dapur dari hasil patungan.
"Setelah sampai sana dan jualan, saya pulang dulu ke rumah karena istri lagi empat bulanan (syukuran hamil) dan kakek meninggal. Kalau Cepi dan Dendi masih di Tanggerang jualan sama yang lain," katanya.
Singkat cerita pada hari nahas itu atau Rabu, 20 April 2016, Tajudin ditelepon oleh teman-temannya untuk menjemput di daerah BSD. Saat itu Tajudin pun berinisiatif menyewa mobil bak terbuka karena harganya yang lebih murah yakni Rp 70 ribu atau satu orang Rp 10ribu.
"Kalau pakai angkot itu satu orang bisa Rp 20 ribu, tapi jam segitu (malam) angkot juga sudah tidak ada. Makanya mereka janjian di BSD, saya jemput. Sebagian ada yang duduk di depan ada yang di belakang juga termasuk Dendi dan Cepi," beber bapak berusia 42 tahun itu.
Tiba-tiba saat akan sampai ke petakan tempat mereka tinggal, mobil Tajudin langsung diberhentikan yang ternyata anggota polisi berpakaian preman. Tanpa banyak berbicara Tajudin pun dibawa ke salah satu mobil polisi dan dipisahkan dari rombongan lain.
Di dalam mobil dia terus diinterograsi dengan alasan melakukan trafficking atau mempekerjakan anak-anak untuk berjualan cobek. Namun karena tidak merasa apa yang dituduhkan polisi, Tajudin pun terus mengelak. "Sampai-sampai saya digeplak tiga kali pakai sendal," ungkapnya.
Kepada polisi Tajudin mengatakan jika tidak ada unsur paksaan apalagi niat mengeksploitasi Dendi dan Cepi. Kedua anak itu justru berkeinginan sendiri untuk berjualan, dan keuntungan jualan pun tidak pernah dia minta sedikit pun. Bahkan untuk sewa petakan kedua anak tersebut tidak dibebaskan untuk patungan atau tidak.
"Jualan saja beda. Saya jual langsung ke pasar. Kalau Dendi dan Cepi di jalan atau ke rumah-rumah. Hasil penjualan, ya mereka sendiri yang pegang. Untuk makan dan sisanya dibawa pulang ke rumah," ucapnya.
Meski demikian polisi tetap bersih kukuh jika Tajudin diduga telah mengeksploitasi kedua anak tersebut. Hingga akhirnya Tajudin pun harus menjalani sidang yang cukup panjang yakni 25 kali hingga hakim memvonisnya bebas.
Penderitaan Tajudin bukan hanya harus menjalani sidang dan hidup di rutan selama sembilan bulan. Namun untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dia terpaksa berhutang ke sana sini. Bahkan sebagian uang pinjamannya sekira Rp 40 juta raib entah ke mana. Sementara rumah yang dia tinggali pun nyaris disita karena digadaikan untuk biaya hidup. "Kalau ditotal-total sama yang ditipu mungkin ada Rp 100 jutaan," tuturnya.
Sejak divonis bebas dan kembali ke rumahnya pada 14 Januarri 2017 lalu, Tajudin mengaku belum bisa bekerja karena masih trauma dengan apa yang dia alami selama ini. Bahkan saat diundang oleh Bupati Dedi untuk makan malam pun dia sempat dibuat takut kalau-kalau ternyata dia harus kembali berhadapan dengan hukum.
"Sekarang vonis bebas tapi masih kasasi. Sebelum bebas saya dituntut tiga tahun sama jaksa. Saya dari situ berpikir kalau saya benar ditahan tiga tahun, takut anak saya yang pertama dan kedua tidak bisa lanjutin sekolah," ungkap Tajudin dengan mata berkaca.
Sementara itu Bupati Dedi yang juga Ketua DPD I Golkar Jabar pun memberi bantuan pada Tajudin dengan mempekerjakannya sebagai tenaga kebersihan di Kantor Golkar Jabar dengan gaji Rp 2,5 juta. Selain itu warung yang berada di rumahnya yang kini tutup karena istrinya mengandung dan baru saja melahirkan kembali dibuka dengan tambahan modal.
"Hutang-hutang bapak saya lunasi juga. Dengan syarat saya akan membayarkan langsung pada yang memberi hutang. Biar semua clear disaksikan oleh bapak langsung. Jangan sampai nanti uang yang dipinjam bapak ternyata kecil tapi saya bayar jadi mahal. Bukannya saya tidak percaya tapi jangan sampai bapak sudah kena masalah jadi ada masalah lagi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga," pungkas Dedi.
Halaman 2 dari 2











































