"Pengesampingan perkara demi kepentingan umum atau yang dikenal dengan seponering merupakan salah satu tugas dan wewenang yang diberikan oleh UU terhadap Jaksa Agung (vide Pasal 35 huruf c UU 16/2004)," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang terbuka untuk umum yang dibacakan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (11/1/2017).
Vonis itu diketok secara bulat oleh 9 hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Manahan MP Sitompul, Patrialis Akbar, Aswanto, dan I Dewa Gede Palguna. Judicial review itu diajukan oleh dua warga Bengkulu, Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut MK, asas oportunitas yang dianut dalam sistem hukum Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, apalagi menghilangkan hak konstitusional warga negara. Asas oportunitas adalah asas yang terdapat dalam sistem hukum yang dianut oleh banyak negara yang juga menjunjung tinggi HAM, seperti Belanda dan Perancis.
"Bahkan di Amerika Serikat, yang dalam sistem hukumnya tidak menganut asas legalitas dan asas oportunitas, dalam praktiknya menerapkan asas diskresi penuntutan, sedangkan di Inggris, yang juga tidak menganut asas legalitas dan asas oportunitas, menerapkan pesampingan perkara (vide keterangan ahli Presiden Prof Dr Andi Hamzah SH)," papar MK.
Dengan demikian, baik asas legalitas maupun asas oportunitas atau tidak memilih kedua asas tersebut merupakan pilihan pembentuk UU dari masing-masing negara.
"Oleh karena Indonesia dalam sistem hukumnya memilih menganut asas oportunitas, maka pilihan tersebut merupakan pilihan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945," pungkas majelis. (asp/rvk)











































