Ichsanuddin Noorsy Bicara Soal Pertemuan dengan Tersangka Makar

Ichsanuddin Noorsy Bicara Soal Pertemuan dengan Tersangka Makar

Mei Amelia R - detikNews
Selasa, 10 Jan 2017 09:23 WIB
Ichsanuddin Noorsy (Foto: Rengga Sancaya-detikcom)
Jakarta - Pemeriksaan Ichsanuddin Noorsy di Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan makar, berlangsung 15 jam. Ekonom tersebut ditanya soal pertemuan dengan para tersangka makar di rumah amanat rakyat serta kehadirannya pada aksi 2 Desember 2016.

"Materi pertanyaan saya ditanya tentang peristiwa 17 November, lalu ditanya 20 November di UBK dan kehadiran saya di 212 di Minas. Berkaitan dengan sejumlah tersangka makar, saya ditanya hubungan saya dengan mereka, termasuk hubungan saya dengan Ratna Sarumpaet, Hatta Taliwang, Rachmawati Soekarnoputri, SBP, itu yang ditanya," jelas Ichsanuddin kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Selasa (10/1/2016) dini hari.

Pada pertemuan tanggal 17 November, Ichsanuddin mengaku lebih banyak bicara soal politik uang yang dinilainya sudah merusak demokrasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia juga bercerita soal mekanisme demokrasi korporasi yang merupakan bagian dari acara bedah buku 'Revolusi Belum Selesai'. "Karena Bu Rachma tidak datang, maka saya menjadi pembicara demokrasi korporasi," imbuh dia.

Selanjutnya, pada pertemuan tanggal 20 November 2016, Ichsanuddin lebih banyak berbicara mengenai isu strategis dan kekinian, termasuk soal rencana penegakan hukum dalam konstruksi penistaan agama.

"Lalu pada acara 20 November saya dicoba konfirmasi atas notulen yang beredar. Saya bilang, saya datang telat dan pulang duluan pada 20 November itu," sambungnya.

Dalam pertemuan itu, Ichsanuddin juga membahas isu strategis di panggung internasional mengenai kemenangan Donald Trump terhadap Hillary Clinton.

"Sedangkan isu kekiniannya adalah dampak dari kalahnya China di konflik laut China selatan yang akan membawa pertarungan lebih tajam tentang posisi Amerika terhadap China dan itu berdampak ke Indonesia. Dan itu berkaitan dengan posisi perekonomian dan ini tidak lepas dengan para pihak yang bertahan di perekonomian," paparnya.

Seanjutnya, penyidik juga menanyakan masalah amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, gagasan besar dari pertemuan dengan para tersangka makar yakni mengembalikan ke UUD 1945 yang asli.

"Saya menyebut amandemen UUD '45 ke UUD tahun 2002 sendiri tanpa kajian akademik dan riset yang cukup dan tergantung modal, modal apa yang anda mau ambil. Modal Amerika atau modal Prancis, padahal sesungguhnya pada November '98 sudah terjadi perubahan, khususnya pasal 6 ayat 2, tentang presiden dan wakil presiden dipilih lima tahun sekali dan sesudahnya dapat dipilih kembali lalu diubah sesudahnya dapat dipilih kembali untuk dua kali masa jabatannya," terang dia.

"Itu kan dimulai dengan perdebatan panjang kalau pada sidang umum MPR November 98. Perdebatan itu--karena kebetulan skripsi tata negara saya berkaitan dengan itu--jadi saya tahu persis. Sementara amandemen pada 2002 tanpa kajian akademik, dan itu dipersoalkan banyak orang. Bagaimana kalau dikembalikan ke UUD '45? Sesungguhnya sama dan ini perdebatan menarik," lanjut dia.

Menurutnya, perlu ada kajian seberapa efektifnya amandemen tersebut dan seberapa jauh ketentuan saling bertentangan satu dengan yang lain dan seberapa jauh amandemen itu bertentangan dengan kata pembukaan.

"Ini kata kuncinya bertentangan dengan semangat kejuangan founding father kita. Di sini saya ditanya apakah konsep kembali ke UUD 45 itu sudah ada kajian akademik atau tidak. Saya bilang, saya tidak tahu dan tidak ngerti, tapi yang menarik adalah jadi bagaimana kalau kembali secara politik, kalau memang proses politik dan jika keputusan politik adalah sah, ya sah saja. Walaupun secara akademik dia bisa dilakukan kajian lebih dalam," urainya.

Bicara Rush Money

Soal pertemuannya di Rumah Amanat Rakyat pada 17 November 2016, Ichsanuddin menegaskan dirinya hanya berbicara soal isu rush money. Menurutnya isu tersebut sangat berbahaya karena berkaitan dengan masalah dugaan penistaan agama.

"Artinya kita tidak bisa bicara yuridis formal, tapi tanpa bicara yuridis sosiologis dan filosofis. Tentang rush money sendiri saya mengingatkan betapa bahaya isu itu. Makanya saya ulang lagi 20 November khusus tentang betapa pentingnya melihat situasi ini dalam satu bingkai NKRI," sambungnya.

Terkait kasus dugaan makar sendiri, Ichsanuddin menilai ada permasalahan komunikasi antara penguasa dengan yang tidak berkuasa serta kegelisahan sejumlah orang tentang kebijakan penguasa. "Itu pointnya," sebutnya.

Ichsanuddin juga menjawab soal kehadirannya di aksi 2 Desember 2016. Ia mengaku hadir di panggung di Monas.

"Saya di panggung Monas sampai acara bubar dan ketika ada rombangan dari Merdeka Barat melalui Thamrin dan Sudirman, saya sudah ke tempat lain," lanjutnya.


(mei/fdn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads