Debat yang diikuti Rachland Nashidik (relawan Agus-Sylvi), Budiman Sudjatmiko (relawan Ahok-Djarot), dan Indra Jaya Piliang (relawan Anies-Sandi) digelar di Equus Cafe, Jl Wijaya 2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (7/1/2017).
Rachland Nashidik menyebut radikalisme sebagai suatu paham yang mengubah nilai secara fundamental dengan cara menggunakan kekerasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rachland berpendapat mengenai adanya kelompok politik berbasis identitas di Indonesia. "Kita harus akomodasi mereka ke dalam demokrasi agar mereka terkontrol," tandasnya.
Sementara itu, Budiman Sudjatmiko cenderung menyorot isu politik identitas di Indonesia. Menurutnya, separatisme cenderung menurun, namun politik identitas naik intensitasnya.
Baginya, kompetensi demokratis tidak boleh menghilangkan eksistensi 'semua untuk semua' seperti halnya yang dikatakan Bung Karno.
"Persoalannya adalah, eksistensi kita terlihat dari ketidakrelaan orang untuk hidup semua untuk semua. Kemudian, ada fenomena politik identitas," beber Budiman.
Sementara Indra Jaya Piliang tidak mempermasalahkan fundamentalis, radikal, atau ekstrimis di Indonesia. Dia menyebut demokrasi memberi tempat bagi ketiganya.
"Nggak ada persoalan. Demokrasi itu sebenarnya sistem paling buruk, tapi paling bisa diterima," ujarnya.
Menurutnya, konflik-konflik di Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini tidaklah berbahaya. Justru akar dari konflik tersebut yang dapat mengancam hukum dan negara.
"Di negara demokrasi baru, justru kelompok yang menggerakkan radikalisme adalah kelompok yang semula terorganisir. Seolah-olah yang hadir satu kelompok, tapi ternyata adalah kelompok lama. Ketika masuk ke sistem demokrasi, mereka baru muncul," ujar Indra.
(fdn/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini