"Karena masyarakat kita terlalu pendek cara berpikirnya. Hanya gara-gara kasus pilkada, orang di dunia ini seputar pilkada saja. Padahal kan masih panjang negara kita ini. Ini nanti kalau sudah selesai pilkada, agak turun suhunya. Kita dorong mudah-mudahan demikian," kata Jimly di kantor pusat program ICMI, Jalan Proklamasi 53, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2017).
Jimly mengaku ada kekhawatiran tentang perpecahan kelompok setelah pilkada nantinya. Menurut Jimly, cendekiawan harus ikut membimbing bangsa agar persatuan tetap tercipta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, Jimly menyebut isu tentang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tengah gencar dalam musim pilkada. Menurutnya, toleransi masyarakat Indonesia sebenarnya telah terbukti, tetapi malah beberapa pihak memanfaatkan hal itu untuk kepentingan sendiri.
"Saya beri tahu Saudara, tahun lalu, 2015, di Kabupaten Sula 99 persen muslim, yang terpilih adalah pengusaha Tionghoa yang beragama Protestan jadi bupati. Itu Kabupaten Sula di Maluku Utara. Tidak ada masalah dengan etnisitas, tidak ada masalah, nggak ada masalah dengan agama. Tapi, kalau orang tidak suka, mau diapain? Jadi, kalau si A terpilih, bukan karena etnis, bukan karena agama, tapi karena orang suka," kata Jimly.
"Maka jadilah pemimpin yang tidak menimbulkan antipati dari rakyatnya, jadilah pemimpin untuk semua golongan, tidak bisa hanya jadi pemimpin untuk diri sendiri," Jimly menegaskan.
(dhn/tor)