14 Tahun UU Penyiaran, Ratusan Akademisi Sampaikan Kritik

14 Tahun UU Penyiaran, Ratusan Akademisi Sampaikan Kritik

Sukma Indah Permana - detikNews
Rabu, 28 Des 2016 17:16 WIB
Foto: Akademisi sampaikan kritik UU Penyiaran/ Sukma detikcom
Yogyakarta - 14 tahun sudah sejak UU Penyiaran lahir, ratusan pegiat penyiaran mulai dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil menyampaikan sejumlah kritik dan catatan. Garis bawah dipasang sejumlah poin dalam draft revisi UU Penyiaran No 32/ 2002 yang dinilai sarat akan kepentingan modal dan abai terhadap demokrasi penyiaran.

Para pegiat yang bergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menilai UU Penyiaran relatif demokratis. Hal ini disimpulkan dari lima hal di dalamnya.

Pertama, ujar salah seorang peneliti sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahayu MSi MA, di dalam UU tersebut tepatnya di pasal 7 lahir regulator independen berupa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Meskipun belum progresif karena pemerintah masih menjadi bagian dari regulator," ujar Rahayu dalam diskusi dan jumpa pers dengan tema 'Revisi UU Penyiaran Sarat Kepentingan Pemodal? (Catatan Kritis 14 Tahun UU Penyiaran)" yang digelar KNRP di Ruang Fortakgama, Gedung Pusat UGM, Rabu (28/12/2016).

Kedua, ditetapkannya RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran di pasal 14. Ketiga, adanya pembatasan siaran dan kepemilikan lembaga penyiaran swasta di pasal 18. Keempat, diakuinya lembaga penyiaran komunitas di pasal 21. Kelima, dieberlakukannya sistem siaran berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta di pasal 31.

Setelah 12 tahun dari lahirnya UU Penyiaran, DPR RI akan melakukan revisi terhadapnya.

"KNRP menilai revisi UU Penyiaran justru mengalami kemunduran yang serius. Ada kesan bahwa DPR dengan sengaja mengubah sejumlah pasal dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 untuk kepentingan lembaga-lembaga penyiaran swasta besar dengan mengabaikan kepentingan publik," urainya.

Peneliti dan Dosen Ilmu Komunikasi UGM, Wisnu Martha Adiputra menambahkan masyarakat sipil tidak dihadirkan dan terwadahi dalam draft RUU Penyiaran.

"Seolah industri diuntungkan (dalam draft RUU), tapi sebetulnya dirugikan. Animo masyarakat kurang untuk melihat TV. Apalagi di era kompetisi konten, jika konten tidak berkualitas maka masyarakat juga tidak akan tertarik menyaksikan televisi," urainya.

Sedangkan menurut Rahayu kerugian akan lebih banyak ditanggung oleh pihak lokal. Menurutnya, untung atau rugi dilihat dari sisi demokrasi, ekonomi, dan budaya.

Jika melihat draft RUU yang diinisiasi oleh DPR, tampak sentralistis dan sangat swasta. Ketika sentralisasi dan swasta dilanggengkan maka platform untuk sumber daya lokal akan terkurangi.

"Televisi lokal tidak bisa tumbuh sehat," kata Rahayu. (sip/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads