Para pegiat yang bergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menilai UU Penyiaran relatif demokratis. Hal ini disimpulkan dari lima hal di dalamnya.
Pertama, ujar salah seorang peneliti sekaligus dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rahayu MSi MA, di dalam UU tersebut tepatnya di pasal 7 lahir regulator independen berupa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPID.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, ditetapkannya RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran di pasal 14. Ketiga, adanya pembatasan siaran dan kepemilikan lembaga penyiaran swasta di pasal 18. Keempat, diakuinya lembaga penyiaran komunitas di pasal 21. Kelima, dieberlakukannya sistem siaran berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta di pasal 31.
Setelah 12 tahun dari lahirnya UU Penyiaran, DPR RI akan melakukan revisi terhadapnya.
"KNRP menilai revisi UU Penyiaran justru mengalami kemunduran yang serius. Ada kesan bahwa DPR dengan sengaja mengubah sejumlah pasal dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 untuk kepentingan lembaga-lembaga penyiaran swasta besar dengan mengabaikan kepentingan publik," urainya.
Peneliti dan Dosen Ilmu Komunikasi UGM, Wisnu Martha Adiputra menambahkan masyarakat sipil tidak dihadirkan dan terwadahi dalam draft RUU Penyiaran.
"Seolah industri diuntungkan (dalam draft RUU), tapi sebetulnya dirugikan. Animo masyarakat kurang untuk melihat TV. Apalagi di era kompetisi konten, jika konten tidak berkualitas maka masyarakat juga tidak akan tertarik menyaksikan televisi," urainya.
Sedangkan menurut Rahayu kerugian akan lebih banyak ditanggung oleh pihak lokal. Menurutnya, untung atau rugi dilihat dari sisi demokrasi, ekonomi, dan budaya.
Jika melihat draft RUU yang diinisiasi oleh DPR, tampak sentralistis dan sangat swasta. Ketika sentralisasi dan swasta dilanggengkan maka platform untuk sumber daya lokal akan terkurangi.
"Televisi lokal tidak bisa tumbuh sehat," kata Rahayu. (sip/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini