"22 Desember itu saat para perempuan berkumpul untuk ikut menyumbang pemikiran-pemikiran kemerdekaan, spesifiknya tentang perempuan," kata aktivis perempuan Nursyabani Katja Sungkana saat berbincang dengan detikcom, Kamis (22/12/2016).
Nursyahbani bercerita, saat itu para perempuan menyampaikan semua bentuk aspirasinya. Baik diskriminasi terhadap hak pilih perempuan maupun hak politik perempuan pada saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di era Presiden Soekarno, 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu pada 1959. Namun seiring dengan gerak zaman, makna 22 Desember berubah.
"Memang kemudian pada masa Orde Baru, kebijakan terhadap perempuan yang didomestikasi. Saat itu pun peran perempuan hanya terbatas di organisasi PKK sampai Panca Dharma Wanita. Isi peringatan Hari Ibu juga sudah lebih banyak kepada hal perempuan sebagai ibu rumah tangga, pendidik anak, dan lainnya," jelasnya.
Nursyahbani menambahkan, peran perempuan sebelum reformasi dan Orde Baru telah berubah. Di mana saat kemerdekaan, perempuan dihargai sebagai Srikandi di medan perang.
"Penamaan Hari Ibu sendiri mereduksi peran perempuan sebelum kemerdekaan, di mana perempuan sangat berpengaruh saat itu. Baik yang sudah berkiprah jadi Srikandi di medan perang atau juga perawat saat itu," pungkas Nursyahbani. (adf/asp)











































