"Secara umum, survei menemukan bahwa warga menjauh dari akses pendidikan, tempat berbelanja, tempat rekreasi, transportasi publik, dan tempat bekerja akibat lokasi rumah susun yang terlampau jauh dari kediaman asal mereka sebelum digusur," kata pengacara publik dari LBH Jakarta, Alldo Fellix Januardy, di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (21/12/2016).
Hak dasar transportasi menjadi perhatian bagi warga rumah susun di wilayah DKI Jakarta. Survei LBH Jakarta menyebutkan, 60,4 persen warga rumah susun mengaku sulit mengakses transportasi publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alldo mengatakan, meski Pemerintah Provinsi DKI menyediakan TransJakarta, warga tidak menggunakan fasilitas tersebut. Sebab, dikatakan Alldo, TransJakarta yang disediakan untuk warga rusun Pemprov DKI tidak efisien.
"TransJakarta di rusun kurang efisien karena dinilai tidak menyambung dengan banyak tempat. Kebanyakan warga tidak memfungsikan TransJakarta. Pemprov karena setelah turun terminal harus naik ojek atau kendaraan lain lagi," jelas Alldo.
Selain itu, dalam survei disebutkan akses warga rusun ke tempat kerja semakin jauh. Survei menyebutkan 68,1 persen warga rusun jauh dari tempat kerja.
"Warga juga menjauh dari tempat mereka bekerja. Jika sebelumnya 61,7 persen warga menyatakan bahwa jarak rumah lamanya ke tempat bekerja hanya 0-5 km, angka tersebut menurun menjadi 46,6 persen ketika menghuni rumah susun. Sekitar 21,5 persen warga juga menyatakan jarak rumah susun ke tempat bekerja mereka di atas 20 km dari sebelumnya hanya 13,6 persen ketika menghuni rumah lama," jelas Alldo.
Survei pemenuhan hak atas perumahan layak bagi rumah susun itu dilakukan di 18 rumah susun yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Jumlah responden adalah 250 orang yang keseluruhannya adalah kepala keluarga atau pencari nafkah utama di keluarga. Survei kuantitatif dilakukan pada April-Mei dan wawancara mendalam pada Oktober 2016. (rvk/rvk)