"Apakah yang menjadi simbol keadilan di Indonesia? Simbol keadilan di negeri ini direpresentasikan dengan Dewi Themis. Suatu simbol yang secara umum di gunakan di negara-negara lainnya," kata ahli hermeneutika hukum, Dr Ilham Hermawan.
Hal itu disampaikan dalam Konferensi Hukum Nasional (KHN) 2016 yang digelar di Jember, Jawa Timur pada akhir pekan lalu. Hadir dalam KHN 2016 itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat, Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta, Prof Dr Amzulian Rifai, perwakilan Mabes Polri, Kombes Hambali, Dirjen Pemasyarakatan I Wayan Dusak, mantan Ketua KPK 2007-2009 Antasari Azhar dan Dirjen Peraturan Perundangan Prof Dr Widodo Ektatjahjana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Themis sebagai simbol keadilan merupakan perwujudan mitologi Yunani," ucap Ilham.
Themis digambarkan sebagai perempuan cantik yang membawa seperangkat timbangan yang digunakan untuk menimbang kebaikan dan keburukan seseorang sebagai alat ukur dari keadilan itu sendiri. Themis selain membawa timbangan, membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan dari keadilan itu sendiri.
"Themis juga di gambarkan dengan mata tertutup, sebagai gambaran bahwa keadilan harus diberikan secara objektif," ujar akademisi Universitas Pancasila, Jakarta itu.
Terdapat hal yang menarik mengenai tertutupnya mata Themis karena jika ditelusuri terdapat Patung Themis yang tidak tertutup matanya. Tertutupnya mata Themis ini berkaitan dengan perkembangan dari ilmu hukum.
"Mata Dewi Themis tertutup setelah abad ke-15 yakni ketika menguatnya rasionalitas dan objektivitas," ujar Ilham.
![]() |
Menurut Ilham, obyektivisme muncul melalui era Renaissance. Pemikiran ilmu pengetahuan pada zaman tersebut dikatakan telah memasuki peradaban modern. Proses modernisasi ini meruntuhkan tataran nilai masyarakat Abad Pertengahan.
Tata masyarakat mulai meyakini adanya suatu tatanan obyektif yang berdiri sendiri lepas dari subyek berpikir. Mereka melepaskan kenyataan 'metafisis', semua makna dunia obyektif tradisional dipertanyakan dan disangsikan secara metodis, sehingga sampailah Descartes pada keyakinan yang tak tergoyahkan dan bersifat pasti, yaitu je pense done je suis (aku berpikir maka aku ada).
Objektivitas dan rasionalitas tersebut yang kemudian di gambarkan dengan menyingkirkan adanya 'prasangka' dalam dalam proses memahami. Karena 'prasangka' dapat mengaburkan pemahaman kita atas objek yang akan di pahami. Maka, dalam memahami harus bersih dari prasangka-prasangka.
"Inilah yang kemudian masuk kedalam pemikir-pemikir hukum yang kemudian menggambarkan tertutupnya mata Dewi Themis. Tertutupnya mata memiliki arti dengan tidak melihat maka Themis tidak akan membawa prasangkanya dan akan memiliki hasil yang objektif," papar Ilham.
![]() |
Berbeda dengan sebelum abad ke-15, Themis digambarkan dengan mata terbuka. Pada era klasik pemikiran masih bersumber dari hal mistis yang Ilahi adalah alam. Manusia tunduk kepada nasib (seleksi alam). Hal yang ilahi selain alam juga religi (olimpus) di mana Ilahi telah ada dalam diri manusia, lewat logos (akal).
Logos merupakan akal dewa-dewi yang mencerahkan (baik, benar dan patut). Maka maka mata Themis tidak perlu tertutup, sebagai dewa ia memiliki kekuatan akal yang mencerahkan yang baik dan benar.
Begitu pula pada abad pertengahan masih bergumul dengan masalah keselarasan iman dan rasio. Masih kuatnya kepercayaan (teologi) dan filsafat lama yang spekulatif dan cenderung mistis. Adanya dominasi agama 'gereja'.
"Themis pun tidak perlu dengan mata tertutup, karena terdapat kekuatan Ilahi ada di sana. Maka koin kuno Roma berhias gambar Themis memegang pedang dan timbangan, tetapi matanya tidak tertutup," ujar Ilham.
Apakah Themis relevan digunakan sebagai simbol keadilan di Indonesia? Menurut Ilham, sebagai nilai yang universal tentu relevan. Bahkan ilmu hukum yang dipelajari di Indonesia tidak lepas dari kenyataan perkembangan hukum pada abad klasik sampai modern bahkan sampai postmodern.
"Tapi, jika dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan simbol Themis bisa saja berubah kembali, karena objektivitas pun yang di agung-agungkan oleh abad moderen sekarang ini mendapatkan tendesi lawan dari pemikiran-pemikiran yang lainnya," kata Ilham.
Ilham mengambil saja contoh pemikiran Gadamer. Menurutnya dalam proses pemahaman manusia tidak pernah dalam keadaan kosong karena telah ada dalam diri manusia prasangka. Di mana prasangka merupakan titik awal pemahaman.
Karena manusia menyerap tradisi, dan tradisi tersebut membentuk prapemahaman manusia yang disebut cakrawala pandang. Maka tidak ada objektivitas yang ada pertemuan banyak pemikiran atau perluasan cakrawala. Yang ada adalah intersubyektivitas pemikiran.
"Maka, berkaitan dengan Indonesia, simbol keadilan dapat saja dikaji ulang. Menelisik bahwa hukum bersumber dari cita hukum dan cita hukum Indonesia adalah Pancasila. Maka simbol keadilan seyogyanya ditarik dari nilai-nilai Pancasila," kata Ilham menegaskan. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini