Meski begitu, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan kebijakan UN selama ini tidak berhasil menumbuhkan semangat belajar. UN tidak bisa menjadi patokan utama dalam mengukur kemampuan siswa.
"Persoalan dalam UN, kebijakan ini tidak berhasil menumbuhkan semangat belajar otentik. Sebuah alat ukur tidak bisa mengukur semuanya, termasuk UN," ungkap Retno di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Guru dan siswa hanya belajar sesuai kisi-kisi UN. Tidak ada yang menunjukkan skill. Selama penyelenggaraan UN pemerintah lebih sibuk evaluasi hasil akhir," imbuh Retno.
"Sebelum menyelenggarakan UN, guru berkualitas itu harus merata. Sarpras pendidikan harus merata, dan cara berkomunikasi dalam pendidikan sudah merata," sambung Retno.
Sementara itu, Nur Azizah dari Indonesia Mendidik memaparkan bahwa bukan dengan cara UN yang menjadi standarisasi prestasi siswa. Hal itu karena setiap siswa memiliki minat dan bakat yang berbeda.
"Jika dikatakan bahwa negara harus mempunyai standarisasi prestasi anak didik, caranya bukan dengan UN. Negara harus memikirkan bahwa setiap anak memiliki bakat dan minat yang berbeda," papar Azizah.
Pakar pendidikan Prof Arief Rachman mengatakan bahwa UN selama ini dijadikan standar mutlak penilaian. Hal itu karena mutlak menggunakan standar yang sama untuk setiap daerah.
"UN yang dilakukan selama ini adalah ujian yang berstandar mutlak, ada yang pakai standar normal. Mutlak memakai standar yang sama untuk semua daerah, untuk semua anak," ujar Arief.
Arief sendiri mendukung jika UN dimoratarium dan digantikan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Menurut guru besar Universitas Negeri Jakarta ini, USBN menjamin guru sekolah bersikap jujur.
"Standar normal yang disesuaikan dengan mutu guru kondisi daerah dan prasarana. Ujian sekokah berstandar nasional menjamin guru sekolah jujur . Tidak pakai ranking, kita sedang bergerak dari kepalsuan ke kejujuran," tandas Arief.
Arief juga mengatakan sebaiknya agar UN tidak dihilangkan. "UN jangan dihilangkan tapi namanya diganti. Dan tidak boleh berdampak lulus atau tidak lulusnya anak didik," beber Arief. (dkp/imk)











































