Pasca Vonis Seumur Hidup Brigjen Teddy, Proyek Alutista Harus Terbuka

Pasca Vonis Seumur Hidup Brigjen Teddy, Proyek Alutista Harus Terbuka

Ahmad Masaul Khoiri - detikNews
Senin, 05 Des 2016 14:46 WIB
Pasca Vonis Seumur Hidup Brigjen Teddy, Proyek Alutista Harus Terbuka
Brigjen Teddy diadilli di Pengadilan Militer II Jakarta (edo/detikcom)
Jakarta - Beberapa gabungan LSM mendesak pemerintah untuk lebih transparan dalam melakukan proses pembelian alat utama sistem pertahanan (alutista) yang digunakan oleh TNI. Mereka menganggap terjadinya pidana korupsi akan sangat riskan jika pembelian alutsista dilaksanakan tertutup.

"Menyoal transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista, pemerintah perlu mengungkap dugaan penyimpangan pengadaan alutsista hingga tuntas dan dilakukan secara menyeluruh," ucap kordinator peneliti Imparsial Ardimanto Adiputra kepada wartawan di kantornya, Jalan Tebet Dalam IV J, Jakarta Selatan, Senin (5/12/2016).

"Tentu ini implikasi dari putusan vonis penjara seumur hidup kepada mantan Brigjen Teddy Hernayadi," imbuh dia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selanjutnya, koalisi ini menginginkan monitoring dan penindakan terhadap penyimpangan alutsista tidak berhenti di kasus itu. Pihaknya pun mencontohkan saat pembelian kasus alutsista yang lain.

"Misal di pembelian pesawat jet tempur Sukhoi pada era pemerintahan SBY dibongkar. Itu sudah kami laporkan di KPK dan Kemenhan mengambil alih kasus ini namun belum ada tindaklanjutnya," ungkap Ardi.

Alutsista yang digunakan TNI, kata Ardi, hanya 30 sampai 40 persen saja yang siap berdasar data dari Kemhan. Semakin banyak penyimpangan potensi kerawanan kecelakaan semakin tinggi. Selanjutnya, pembelian alutsista dengan kualitas di bawah standar dapat mengakibatkan kerawanan bagi penggunanya.

"Sehingga jadi pijakan untuk mengungkap kasus lain yang seringkali melibatkan broker dan mengalami kemahalan harga. Di masa lalu pengadaan alutsista bekas khusunya di F 16 dan Apache rawan adanya penyimpangan. Tentu tidak ada kevalidan apakah itu alutsista bekas atau bukan," Ardi.

"Selanjutnya di pengadaan alutsista dibeli dibawah standar tidak sesuai kebutuhan dan terjadi penyimpangan, ini ironis dalam pertahanan. Karena alat kita terbatas," tambah dia.

Menurut, Adnan Topan Husodo dari ICW menyitir hasildari 'goverment defence anti corruption index 2015' oleh G20 yang bekerjasama dengan transparansi internasional mempublikasikan tranparansi dalam bidang keamanan dan alat pertahanan, Indonesia masuk kategori D. Sementara kategori yang baik dimulai dari A hingga E dalam sisi tranparansi dan akuntabilitas.

"Ini mencerminkan problem pengelolaan alutsista kita mendapat nilai E, tentu very high korupsinya. Itu relevan dan masuk akal jika kita lihat dari pengadilan Brigjen Teddy," kata Adnan.

Implikasi korupsi di sektor pertahanan dan alutsista akan mengacaukan sistem strategi kebutuhan alutsista di Indonesia. Karena sudah masuk ke dalam kepentingan pribadi dan pihak ketiga atau broker.

"Jadi tidak memiliki skenario jangka panjang. Karena banyak yang dibeli tidak mencerminkan kebutuhan nyata atas sistem keamanan kita. Anggaran yang terbatas dengan adanya korupsi yang massif, padahal kebutuhan minimum kita belum terpenuhi tetapi terancam praktek korupsi," jelas Adnan.

"Implikasi yang lebih parah apabila nanti diserang negara misalnya. Apakah pesawat tempur kita sudah dicukupi dengan rudal. Tentu ini berbahaya," tambah Adnan

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merupakan gabungan dari LSM Imparsial, LBH Pers, Elsam, YLBHI, ICW, Lespersi, HRWG, Kontras, IDSPS, CLDS, LBH Jakarta, Setara Institute, dan INFID.

Brigjen Teddy divonis seumur hidup karena terbukti korupsi alat utama sistem pertahanan (alutista) 2010-2014. Salah satu yang dia korup adalah pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache. Diakumulasi, total yang ia korupsi USD 12,4 juta. Atas pertimbangan itu, Brigjen Teddy akhirnya dihukum penjara seumur hidup, jauh dari tuntutan oditur yaitu 12 tahun penjara. (msl/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads