"Saya terpaksa, Kang, mau berobat enggak punya biaya. Dia sakit sudah 4 tahun dan baru 1 tahun ini dia kami buatkan tempat. Kalau di luar suka mengamuk dan merusak barang, kadang-kadang melukai badannya sendiri," tutur Eni kepada detikcom, Minggu (27/11/2016).
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eni mengaku bosan meminta bantuan kepada pemerintah lewat aparat desa setempat. Menurutnya, hal itu percuma karena bantuan yang diharapkannya tidak pernah datang.
"Sehari-hari saya mengandalkan suami, sudah tua kerja serabutan. Jangankan untuk berobat, untuk makan kami saja susah, ngandelin pemerintah apalagi, enggak pernah ada jawaban," lanjut Eni.
Tubuh Aji terlihat kurus dan warna kulitnya pucat. Kandang bambu itu tak terlalu rapat hingga jari-jari pria itu bisa dengan leluasa keluar sebagai satu-satunya cara berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya.
"Kalau waktu makan, saya kasih makanan dari atas. Kalau lapar, jari-jari tangannya keluar kayak menggapai-gapai. Kalau malam atau hujan, tempatnya itu saya tutup pakai terpal biar enggak kedinginan," imbuhnya.
![]() |
Eni berkali-kali menghindari kata kandang dan mengganti dengan sebutan 'tempat'. Ia mengaku tak tega karena bagaimanapun Aji adalah darah dagingnya sendiri.
"Hati kecil saya teriak, Kang, enggak tega, bagaimanapun dia anak saya. Tapi saya enggak punya pilihan selain menempatkannya di situ," ucapnya lirih.
Eni berharap pemerintah bisa merespons keinginannya agar Aji bisa diobati dan sembuh. "Saya ingin anak saya menjalani pengobatan dan sembuh, tapi untuk biaya ke rumah sakit dan hidup sehari-hari saja kami sulit," ucapnya. (dhn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini