"Berpendapat bebas, berekspresi bebas, yang tidak boleh adalah memalsukan fakta. Tapi hanya mengkritik kebijakan, tidak setuju itu bebas. Nge-like itu aman, tapi menyebarkan, itu yang melanggar undang-undang," kata Henry Subaktio saat diskusi di warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (26/11/2016).
"Menyebarkan fakta palsu yang isinya tuduhan, yang tidak berkenan atau menyebarkan informasi kebencian yang berdasarkan SARA itu melanggar," imbuh Henry.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penistaan agama itu berlaku delik formil. Artinya dia berpotensi memunculkan kebencian, bisa memunculkan kebencian, bisa memunculkan permusuhan. Dia sudah masuk rumusan pasal 28 ayat 2, itu," jelas Henry.
"Kalau hanya mau bicara, berpendapat boleh. Itu hak konstitusional. Mengkritik atau mengevaluasi kebijakan Pemerintah itu hak konstitusional," jelas Henry.
Adapun pasal 28 ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2008 yang mengatur penyebaran isu SARA. Pasal disebutkan dalam bab VII, perbuatan yang dilarang, sebagai berikut :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (bag/bag)











































