Bila Anda mengunjungi Aceh, terutama Banda Aceh, Anda akan menjumpai kedai kopi di kanan-kiri jalan-jalan utamanya. Tak jarang kedai kopi itu persis bersebelahan atau berhadap-hadapan.
detikcom berkesempatan nongkrong di kedai kopi itu pada akhir pekan lalu. Masing-masing kedai kopi menyuguhkan suasana dan kopi racikan andalan masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Uniknya, kebanyakan kedai kopi itu menyuguhkan kedai dengan proses seduh manual, bukan memakai mesin kopi seperti halnya di waralaba kedai kopi internasional. Barista di kedai kopi itu menyeduh dengan teknik V60, siphon atau french press. Rasanya, nikmat. Tak kalah, bahkan lebih enak, dari waralaba kedai kopi internasional itu.
![]() Teknik seduh kopi manual (Foto: Nograhany WK/detikcom) |
Yang jelas, harganya sangat bersahabat di kantong. Dua kedai kopi yang dijajal detikcom, yakni 3 in 1 Coffee memiliki harga kopi Rp 5.000 sampai Rp 25.000 dan Oz Coffee memiliki harga Rp 10.000 sampai Rp 35.000. Para pelayan biasanya menyuguhkan panganan kecil seperti gorengan hingga roti selai sarikaya sebagai teman minum kopi.
![]() Harga kopi di kedai kopi Aceh ramah di kantong (Foto: Nograhany WK) |
Bila malam menjelang, kedai-kedai kopi itu makin ramai saja. Warga Aceh berkumpul bersama teman dan kerabat sambil ngopi hingga ngobrol ngalor ngidul.
"Orang sini suka nongkrong di kedai kopi, dari dulunya begitu, membahas politik, ekonomi, silaturahminya di situ orang Aceh. Ada tamu ya kita tawarkan kopi," tutur pemilik Maron Coffee, Yasir Fendi (42).
Kedai kopi milik Yasir sendiri buka sejak pukul 09.00 - 24.00 WIB. Sehari, bisa ada 200 orang nongkrong dan minum kopi di kedainya. Yasir yang membuka kedai kopi sejak 2015 lalu, meracik manual kopi-kopi untuk pelanggannya dengan V60 drip. Dia belajar sendiri mengenai teknik meracik kopi, tak pernah kursus barista. Kopi yang dijual di kedai kopinya adalah jenis Arabica yang harum.
Selain menjual kopi racikan, Yasir juga menjual kopi kemasan arabica dengan harga 1 ons Rp 30 ribu dan 2 ons Rp 50 ribu. Selain di Aceh, Yasir menjual kopi bubuk kemasannya secara online.
"Ada 2 macam kopi di Aceh, robusta dan arabika, budaya kita dari dulu robusta. Robusta mungkin lebih dulu, arabica (dikenal) setelah tsunami 2004. Arabica berkualitas tinggi. Dari zaman Belanda orang kita dilarang (Belanda) minum arabika, karena mereka tak punya cukup kuota kopi arabika untuk dibawa ke sana, kita diminta minum robusta. Robusta kan kopi kelas dua. Arabica sulit tumbuh maka diarahkan minum robusta, padahal yang enak arabica," jelas Yasir.
![]() |
Kopi jenis robusta, menurut Yasir, kebunnya banyak berada di Aceh Tengah. Sedangkan kopi arabica, perkebunannya tersebar luas mulai dari Gayo, Aceh Tengah, Bener Meriah hingga Gayo Lues.
Luasnya perkebunan kopi di Aceh juga menimbulkan budaya ngopi. Hal ini dikatakan pemilik kedai kopi Oz Coffee, Wan Rantoni Fitra (38).
"Yang pertama sudah pasti perkebunan kopi sangat luas di Aceh, jadi pendapatan utama di Aceh itu kopi. Tradisi atau kebiasaan di Aceh sendiri, saya sendiri belum lahir sudah seperti itu, " kata Oni, panggilan akrabnya kala ditanya detikcom mengapa kopi dan budaya ngopi di Aceh sangat kental pada akhir pekan lalu yang ditulis, Jumat (11/11/2016).
![]() |
"Terjadi obrolan di warkop di Aceh itu dari bisnis, gosip, cerita masyarakat sampai teknologi terkini ada di sana," imbuhnya.
Ada sekitar 50 orang yang mendatangi kedai kopinya di Banda Aceh. Rata-rata orang menghabiskan waktu untuk ngopi di sana paling sedikit 1 jam.
"Yang sudah-sudah paling lama 3-4 jam, paling cepat 1 jam, kopinya juga nggak segelas, bergelas-gelas," tutur Oni yang sudah membuka kedai kopi sejak 2012 lalu ini.
![]() |
Oni tak sembarang menyediakan kopi. Dia juga ingin mengedukasi pelanggannya tentang kopi. Sedikit-sedikit dia ingin pelanggannya meminum kopi tanpa gula dengan aneka prosesnya yang manual itu.
"Masing-masing kedai kopi di Aceh punya specialty kopi sendiri-sendiri ya. Dan trennya sekarang lebih menggali kopi Nusantara dengan teknik seduh manual, bukan mesin," tuturnya.
Oni sendiri memiliki kebun kopi seluas setengah hektar yang ditanami kopi arabica jenis Catimor P88. Kopi arabica, imbuhnya, ada 2.800 jenis di dunia. Nah di Takengon sendiri, terdapat 1.800 di antaranya.
"Tapi yang bisa dipakai 26 jenis saja. Sisanya rasanya tanggung, kaya minum teh tapi encer," jelasnya.
![]() |
Dia memiliki pemanen kopi sendiri, meroasting kopi sendiri hingga belajar otodidak untuk teknik seduh kopi.
"Belajar otodidak, kebetulan tanah kelahiran kanan kiri kebun kopi, cari informasi cara berkebun nggak susah, bisa belajar dan bisa apa saja yang sudah-sudah," tuturnya.
Ada pula Zikri Fitra, barista Oz Coffee, yang sudah akrab dengan kopi sejak kecil. Kecintaannya pada kopi tumbuh secara alamiah.
"Kampung saya di Takengon, itu ada 48 ribu hektar kebun kopi, termasuk punya kakek-nenek saya. Silakan datang ke Takengon, di sana juga ada wisata kopi," tutur Zikri yang juga atlet sepeda downhill ini.
(nwk/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini