Acara itu digelar di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Rabu (2/11/2016). Tito mengangkat tema tentang 'state resposibility to overcome violent extremism'.
"Saya mengapresiasi acara yang digagas oleh CDCC ini, hal ini menunjukkan bahwa to overcome violent extrimism, bukan semata-mata menjadi tanggung jawab negara, namun juga semua stakeholders yang ada," kata Tito dalam keterangannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Al Qaedah diidentifikasi sebagai dalang dibalik teror tersebut," ujarnya.
Setahun kemudian, lanjut Tito, dunia kembali dikejutkan oleh bom yang terjadi di Bali. Pelaku pengeboman itu akhirnya dapat diungkap dengan kerja sama yang baik antara Polri bersama beberapa negara sahabat.
"Jaringan Al-jamaah Al-islamiyah yang pada kenyataanya terkait langsung dengan Al Qaedah, baik secara ideologi, pelatihan maupun pendanaan," tuturnya.
Foto: dok. Polri |
"Jaringan tersebut memiliki sel-sel di Asia Tenggara, serta berafiliasi pula dengan jaringan teroris global," sambungnya.
Foto: dok. Polri |
Pada tahun 2013, lanjut Tito, dunia kembali dikejutkan dengan deklarasi ISIS dengan paham Tauhid wal Jihad pimpinan Abu Muhammad Maqdisi yang kemudian berbasis di Iraq dan Syria.
Pasca kemunculan ISIS, kata Tito, kelompok paham radikal yang sudah tersudutkan kembali menjadi membesar dan mengancam. Berbagai serangan teror pun terjadi seperti di Africa, Eropa dan juga Asia.
"Bahkan di Asia Tenggara khususnya, serangan kelompok ISIS terjadi pula seperti di Thailand, Filipina, dan Indonesia," ujarnya.
Tito mengatakan, ISIS lebih berbahaya dari pada Al Qaedah. Pertama, karena teritorial yang dimiliki. Kedua, kemampuan militan yang lebih superior dari Al Qaedah. Kemudian yang ketiga, doktrin takfiri yang dibawa oleh ISIS yang memperbolehkan membunuh siapa saja yang tidak satu ideologi termasuk warga muslim sendiri.
"Inilah saatnya kita menyatukan langkah kembali, dengan memperkuat kerja sama, karena dulu dunia internasional juga berhasil melemahkan Al Qaedah melalui kerja sama internasional," paparnya.
Selain itu, Tito juga menuturkan bahwa penyebaran paham radikalisme saat ini bisa secara on line dan face to face. Karena itu, lanjut Tito, materi asing yang berbau kekerasan sebaiknya tidak langsung diterima.
"Perlu mencari pandangan-pandangan lain dari para ulama," urainya.
Halaman 2 dari 2












































Foto: dok. Polri
Foto: dok. Polri