Kasus bermula saat Leo hendak pulang dari Jenewa ke Jakarta pada 12 Mei 2015. Penerbangan transit di Doha, Qatar dan penerbangan dilanjutkan pada pukul 02.20 waktu setempat dengan kode penerbangan QR 956.
Dalam penerbangan itu, Leo membawa tas dan diletakkan di kabin tidak jauh dari tempat duduknya. Dalam tas itu berisi jam Rolex, uang USD 8.500, sejumlah dokumen, uang Rp 3,2 juta dan uang CHF 50.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 10 Desember 2015, BPKS Jakarta Barat menghukum Qatar Airways untuk membayar kerugian Leo sebesar 50 persen dari harga barang yang hilang. Adapun 50 persen lagi ditanggung Leo.
Qatar Airways keberatan dan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar). Tetapi putusan itu tidak berubah lewat ketokan majelis hakim yang terdiri dari Dahlan Sinaga, Sarjiman dan Lamsana Sipayung.
Qatar Airways lagi-lagi tidak terima dan mengajukan kasasi. Apa kata MA?
"Menolak permohonan Qatar Airways QCSC," putus majelis kasasi sebagaimana dikutip dari website MA, Jumat (28/10/2016).
Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Mahdi Soroinda Nasution dengan anggota yaitu hakim agung I Gusti Agung Sumantha dan hakim agung Hamdi. Putusan itu diketok dengan suara bulat pada 8 September 2016 lalu.
"Dalam kedudukannya selaku pengusaha dalam hal ini selaku pemilik pesawat angkutan udara, walaupun secara hukum tentang pengakuan baik hukum nasional udara maupun hukum internasional dinyatakan pengusaha tidak bertanggung jawab atas kerugian karena kerusakan atau pun kehilangan barang yang diletakkan dalam Kabin pesawat, kecuali penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut (pengusaha) atau oleh orang yang dipekerjakannya, kecuali
terhadap barang-barang yang ditempatkan pada bagasi atau yang disebut sebagai bagasi tercatat," papar majelis hakim.
Menurut majelis hakim, dari kenyataan dan fakta di atas dalam hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban para pihak, kebebasan pengusaha dari tanggung jawab hukum tersebut tidak mutlak atau tidak dapat dipertahankan secara utuh secara menyeluruh hilang atau tiada tanggung jawab hukum bagi pengusaha sama sekali.
Mengingat penerbangan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu rata-rata di atas 2 jam perjalanan lintas negara atau benua tanpa harus mewujudkan tanggung jawab moral pengusaha dalam kepada konsumen (penumpang) dalam tindakan preventif berupa usaha penyediaan keamanan di sekitar area kabin penumpang dengan System Cabin Video Monitoring System (SCMS) yang telah diterapkan oleh beberapa memberi jaminan keamanan dalam bentuk ketenangan dan kenyamanan maskapai penerbangan internasional lainnya.
"Atau dalam bentuk kunci kabin secara otomatis yang hanya dapat dibuka atas bantuan cabin crew (awak kabin) dan atau setiap upaya yang dapat menjamin keamanan dan kenyamanan para penumpang (konsumen) dan barang bawaannya selama dalam penerbangan (any in flight surveillance measures),"
Di mana penggunaan sistem kamera keamanan di sekitar area kabin penumpang pesawat diharapkan dapat meminimalisir tindak kejahatan baik berupa pencurian barang (in flight theft).
Kesalahan selanjutnya yaitu maskapai tidak mengingatkan penumpang untuk hati-hati dengan barangnya agar tidak hilang.
"Yang kesemuanya itu ternyata tidak terungkap adanya dalam perkara a quo baik di tingkat pemeriksaan BPSK maupun Judex Facti yang dapat membebaskan tanggung jawab hukum (ganti rugi) pengusaha dari tuntutan konsumen begitu pula in casu tidak ada upaya sama sekali dari pengusaha untuk menginformasikan kepada para penumpang bahwa dalam penerbangan a quo untuk berhati-hati berkaitan dengan barang-barang yang dibawa karena sebelumnya sudah pernah terjadi kasus serupa (to be ep alert/precausenary principle), sehingga dari fakta tersebut dapat dinyatakan bahwa kesalahan tersebut juga merupakan tanggung jawab pengusaha dalam perkara a quo," papar majelis dengan suara bulat. (asp/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini