Kala MK Dihadapkan Pada Polemik LGBT, Apakah Penyakit atau Orientasi Seksual?

Kala MK Dihadapkan Pada Polemik LGBT, Apakah Penyakit atau Orientasi Seksual?

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 07 Okt 2016 16:48 WIB
Sidang nasib LGBT di MK (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akan kembali menggelar sidang kesepuluh untuk mengadili LGBT pada 17 Oktober nanti. Hingga sidang kesembilan yang digelar pekan lalu, MK masih menyimpan tanya, apakah LGBT bagian dari penyakit atau orientasi seksual?

Polemik itu muncul saat Prof Dr Euis Sunarti dkk meminta homoseksual dipidana selama 5 tahun. Ia meminta hal itu diakomodir dalam Pasal 292 KUHP dengan cara MK meluaskan makna pasal itu.

Berdasarkan ratusan halaman risalah sidang yang dilansir website MK yang dikutip detikcom, Jumat (7/10/2016), MK mengundang para ahli di bidangnya. Tetapi yang didapati munculnya dua kubu yang cukup berseberangan serius yaitu ada yang menyatakan homoseksual bagian dari penyakit, tetapi ada yang bilang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) bagian dari pilihan orientasi seksual.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu ahli yang diundang adalah Prof Irwanto. Ia menyatakan berdasarkan hasil analisa Sigmund Freud, Bapak Psikologi Klinis. Freud memberikan surat kepada seorang ibu yang menitipkan anaknya untuk diterapi dan dia mengatakan, 'Ibu, tidak perlu malu mempunyai anak yang homoseksual karena banyak sekali orang terkenal, yaitu Plato, Michael Angelo, Leonardo Da Vinci, dan sebagainya adalah homo seksual. Mereka menjadi orang yang baik, mereka menjadi terkenal, sangat produktif, sangat dihormati, oleh karena itu tidak perlu merasa malu mempunyai anak yang berorientasi seksual, homoseksual'.

"Jadi, artinya dia mengatakan homoseksual itu bukan penyakit, itu di dalam suratnya Floyd," kata Irwanto.

Irwanto memaparkan riset American Psychiatrist Association tahun 1973 yang telah mencabut homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atas dasar tidak ditemukannya bukti-bukti ilmiah yang mendukung bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit.

"Kemudian, laporan ilmiah yang terbit di mana-mana, termasuk laporan ilmiah yang diproduksi oleh Kemenkes Uganda pada 10 Februari 2014 menyatakan bahwa homoseksual bukan penyakit," cetus Irwanto.

Keterangan Irwanto itu membuat pandangan dua kubu semakin meruncing. Sebab sebelumnya, ahli pemohon, Dadang Hawari menyatakan sebaliknya. Dadang juga menolak American Psychological Association sebagai kitab suci bahwa homoseksual bukanlah penyakit jiwa.

Menurut Dadang, ada penghalusan kata atau eufimisme dalam buku tersebut. Edisi pertama homoseksual disebut gangguan jiwa, lalu edisi kedua berubah dan disebut distonik dan sintonik yang artinya mempunyai perasaan guilty feeling, gelisah, tidak tenang karena perilakunya. Edisi ketiga, homoseksual hilang dari daftar penyakit jiwa.

"Lalu bagaimana pendapat para psikiater Indonesia? Enggak bisa dong. Memang American Psychological Association itu menjadi referensi buat seluruh dunia? Tidak harus mengikuti mentah-mentah. Di Amerika itu ada kelompok gay association, psikiater gay association, psikiater lesbian association. Dan konteks itu mereka campur aduk kan. Nah, inilah yang perlu diwaspadai," terang Dadang dalam sidang di kasus yang sama pada Juli lalu.

Adanya dua pandangan yang berseberangan itu memancing hakim konstitusi Maria Faria Indadrti menggali dua perbedaan itu.

"Di beberapa keterangan ahli yang lalu, ada yang mengatakan bahwa homoseksualitas adalah suatu penyakit. Tapi Prof mengatakan di sini bahwa homoseksualitas bukan sebuah penyakit yang dapat diobati. Ada ahli lain yang mengatakan itu bisa diobati. Menjadi suatu permasalahan bahwa kalau memang itu bukan sebuah penyakit berarti bisa ditangani atau ditanggulangi. Tapi kalau bukan penyakit, apakah kemudian itu menjadi suatu yang dapat dipidanakan? Karena kita mengetahui bahwa kita mengatakan bahwa Tuhan menciptakan dua orang itu pria dan wanita. Tapi kita melihat ada hal yang seperti ini. Tapi Ahli ada yang mengatakan bukan penyakit," ujar Maria Farida.

Menjawab pertanyaan itu, Irwanto menyatakan persoalan LGBT atau homoseksual jika dibawa ke ranah agama, maka persoalannya menjadi bukan lagi benar atau salah, tetapi persoalan umat yang sejarah pernah mencatat. Irwanto mencontohkan saat Galileo bertanya kepada Paus Urban mengenai kebenaran Copernicus yang mengatakan bahwa dunia lah yang memutari matahari bukan matahari yang memutari dunia. Paus Urban bertanya kepada Galileo, 'Anda bertanya kepada saya sebagai kepala umat Katolik atau sebagai dosen?' (Galileo menjawab) 'Dua-duanya'. Lalu dijawab oleh Paus Urban, 'Jika Anda bertanya kepada saya sebagai umat Katolik maka saya mengatakan Copernicus salah, karena kalau gereja Katolik mengatakan dunia yang berputar pada matahari, umat saya habis.'

"Itu yang terjadi sebetulnya adalah persoalan mempertahankan umat bukan benar atau salah," jawab Irwanto.

Permohonan Euis ini diakui oleh Ketua MK Arief Hidayat telah membuat polarisasi idiologi yang cukup serius.

"Saya merasakan di dalam persidangan ini adalah perang ide antara pandangan yang konservatif dan pandangan yang liberal," kata Arief. (asp/van)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads