Benar-benar unik. TKI yang sering dikonotasikan sebagai kaum marjinal, ternyata hal itu tidak berlaku di Korea Selatan. Hidup mereka cukup makmur, makan dua kali ditanggung perusahaan, ada yang tinggal di apartemen, perlakuan terhadap mereka sama dengan pegawai setempat, dan berdasarkan survei, tabungan bulanannya kisaran 2 juta won (Rp 22,5 juta). Bahkan tidak sedikit juga diantara mereka yang memiliki kendaraan roda empat untuk wira-wiri menuju perusahaan.
Namun yang baru saya sadari adalah, TKI di negeri ginseng tersebut juga menikmati sebuah ritual mahal yang bernama haji. Mereka tidak perlu menunggu puluhan tahun atau antri panjang untuk bisa pergi ke baitullah. Cukup izin kepada manajemen perusahaan lalu mendaftar ke tour operator beberapa bulan sebelum hari keberangkatan. Selama mereka memiliki izin tinggal di Korea Selatan dan punya uang, maka naik haji adalah hal yang sangat mudah.
Foto: M Aji Surya/detikcom |
Menurut beberapa kalangan, para TKI tersebut hanya membayar kisaran 5 ribu dolar AS untuk satu kali naik haji. Itu sudah termasuk tiket pesawat, transportasi dan akomodasi di tanah suci. Bahkan, pengalaman haji yang baru saja berakhir, para TKI tersebut ditempatkan di hotel yang tidak jauh dari masjid-masjid utama, baik di Makkah maupun Madinah. "Saya kira, untuk naik haji kita harus menabung dua sampai tiga bulan saja," aku salah satu diantara TKI.
Tahun ini saja, menurut perhitungan kasar, terdapat sekitar 160 TKI di Korea Selatan yang naik haji. Mereka datang dari berbagai penjuru kota negeri ginseng. Yang paling banyak dari wilayah Busan dan sekitarnya. Sebelum berangkat biasanya mereka akan shalat bersama di masjid jami' di kota Seoul yang dilanjutkan dengan foto bersama. Di samping itu, aneka doa dilantunkan di masjid kota dimana ia tinggal.
Menurut informasi, kuota haji di negeri ginseng berjumlah 300 orang per-tahun. Namun animo haji bagi warga muslim Korea sangatlah kecil. Justru keadaan inilah yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh para TKI untuk bisa naik haji. Pada umumnya, para TKI tersebut berangkat haji setahun sebelum kontraknya selesai. Dengan demikian, ketika pulang nanti, selain membawa uang hasil kerja, juga sudah bergelar haji.
Foto: M Aji Surya/detikcom |
Bagi TKI yang lebih pintar, maka selama bekerja di Korea Selatan, juga ikut kuliah di Universitas Terbuka (UT) yang merupakan cabang dari UT yang bermarkas di Pondok Cabe. Terdapat 300-an mahasiswa yang umumnya mengambil jurusan Bahasa Inggris dan Management. Setiap tahun, setidaknya UT Korea meluluskan 15-30 sarjana. Wisuda terakhir dilaksanakan di KBRI Seoul pada 2 Oktober 2016 dengan 15 lulusan tahun ini.
Sayangnya, kesempatan emas seperti di atas itu belum menjamur ke semua TKI di Korea Selatan. Rata-rata merasa cukup dengan bekerja dan menghasilkan uang yang relatif banyak. Uang sudah memberikan kepuasan tersendiri sehingga mencari tambahan ilmu pengetahuan dan naik haji diabaikan begitu saja. Dengan wawasan yang sempit itu, maka seberapa banyak uang yang dikumpulkan akan sulit untuk dikembangkan di tanah air. Akibatnya, mereka akan kembali ke Korea Selatan menjadi TKI lagi.
Foto: M Aji Surya/detikcom |
Namun bagi mereka yang cerdik dan mampu membaca situasi di Indonesia, selain menabung, mereka juga menyempatkan naik haji dan merebut gelar sarjana. Itulah yang membuat mereka dapat tegak mendongakkan kepala saat pulang ke kampung halamannya.
*Penulis adalah WNI yang tinggal di Seoul, Korea Selatan (try/try)












































Foto: M Aji Surya/detikcom
Foto: M Aji Surya/detikcom
Foto: M Aji Surya/detikcom