"Saya sepakat bahwa pendekatan non-yudisial atau out-of criminal court settlement merupakan pilihan yang lebih baik daripada pendekatan yudisial atau criminal court settlement," kata anggota Komisi III DPR, Arsul Sani dalam perbincangan, Senin (3/10/2016).
Ada 3 alasan dari Arsul mengapa pilihan itu lebih baik. Yang pertama, pendekatan non yudisial tidak akan meninbulkan resistensi luas dari kelompok masyarakat yang antikomunisme.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang kedua, pendekatan yudisial akan lebih sulit. Pendekatan yudisial berarti para pelaku diadili lebih dahulu di pengadilan ad hoc HAM.
"Tidaklah mudah untuk mengumpulkan bukti yang dapat dipergunakan dalam proses pengadilan mengingat peristiwa itu sudah setengah abad lebih," ujar Arsul.
Apalagi, orang-orang yang menyatakan diri atau dianggap sebagai korban juga sudah meninggal atau sangat tua. Alasan ketiga adalah untuk menghindari potensi perpecahan.
"Potensi perpecahan dalam masyarakat juga lebih bisa dihindarkan mengingat sikap anti komunis atau PKI adalah sikap mayoritas masyarakat," ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menyelesaikan masalah 1965 melalui jalur non yudisial. Menko Polhukam Wiranto menegaskan, penyelesaian melalui jalur non yudisial dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal, yaitu:
1. Tidak ada nuansa saling menyalahkan
2. Tidak lagi menyulut kebencian atau dendam
3. Sikap/keputusan pemerintah dibenarkan oleh hukum dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan
4. Tergambar kesungguhan pemerintah untuk menyelesaikan tragedi tersebut dengan sungguh-sungguh
5. Ajakan pemerintah untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai pembelajaran bagi bangsa Indonesia agar di masa kini dan masa depan peristiwa semacam itu tidak terulang lagi (imk/Hbb)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini