Putusan tersebut dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Rengat, Wiwin Sulistia dengan dua hakim anggota, Imanuel Putra Sirait dan Patra Zeni Siahaan, Rabu (28/9/2016).
Putusan ini memenangkan gugatan Yayasan Riau Madani bidang lingkungan hidup yang ada di Riau. Lembaga non pemerintah ini melayangkan gugatan legal standing yang diajukan pada 24 November 2015 lalu. Gugatan ditujukan kepada Wabup Kuansing Halim alias Aliang yang membabat hutan lindung Bukit Batabuh di Kab Kuansing seluas 180 ha untuk perkebunan sawit pribadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Menurut Surya, dalam pembacaan putusan itu, hakim menyebutkan, bahwa tergugat Wabup Kuansing Halim harus mengosongkan lahan tersebut. Artinya, perkebunan kelapa sawit yang telah berusia 6 tahun harus ditebangi semua. Selain itu, aktivitas karyawan yang ada di lokasi tersebut juga harus dihentikan.
"Putusan majelis meminta pihak tergugat untuk memulihkan kembali kawasan hutan lindung yang telah mereka rambah secara liar," kata Surya.
Surya menjelaskan, bahwa lahan 180 ha berada di Desa Cengar Kecamatan Kuantan Mudik, Kab Kuansing. Lahan perkebunan sawit milik Wabup Kuansing itu berdasarkan peta kawasan hutan Riau areal tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung Bukit Batabuh.
"Kawasan hutan lindung itu dibabat sejak tahun 2010. Tergugat Halim menguasai lahan secara ilegal karena statusnya kawasan hutan lindung," kata Surya.
Masih menurut Surya, kawasan hutan lindung Bukit Batabuh berdasarkan Surat Keputusan (SK) No 173/KPTS-II/1986. SK No 673/Menhut-II/2014 dan SK 878/Menhut-II/2014. Ketiga SK tersebut menyatakan kawasan tersebut merupakan kawasan hutan lindung Bukit Batabuh.
"Hutan lindung itu fungsinya untuk perlindungan sistem penyangah perlindungan, pengatur air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan mencegah intrusi air laut serta memelihara kesuburan tanah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 angka 8, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan," kata Surya.
Dengan demikian, lanjut Surya, Menteri Kehutanan juga tidak boleh mengeluarkan izin apapun di areal kawasan hutan lindung.
Masih menurut Surya, dalam sidang lapangan pada 12 Agustus 2016, diketahui bahwa di lokasi perkebunan sawit masih terlihat banyaknya kayu-kayu alam yang ditumbangi. Sisa-sisa kayu alam masih terlihat di sela-sela perkebunan sawit.
![]() |
"Jika merujuk pada ketentuan UU Kehutanan 1999, makan sangat jelas sekali tergugat (Wabup Kuansing) sudah mengkangkai undang-undang tersebut," kata Surya.
Sementara itu, kuasa hukum Wabup Kuansing, Halim alias Aliang, Fitri Andrison dari Kantor Hukum Asep Ruhiat mengatakan pihaknya akan melakukan upaya banding atas keputusan tersebut.
Menurut Fitri, hakim telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian. Ini karena tidak ada bukti pendukung yakni keterangan saksi hanya dasar koordinat menyatakan objek sengketa termasuk kawasan hutan saja yang diragukan kebenarannya.
"Seharusnya yang mengetahui wilayah hutan adalah dinas kehutanan yang wajib diikutkan dalam perkara a quo dan tidak ada juga saksi yang mengetahui lahan 180 ha adalam milik H Halim/tergugat," kata Fitri.
Sesuai fakta, lanjut Fitri, tergugat hanya memiliki lahan tidak lebih 80 ha. Dan itu pun juga ada milik orang lain di dalamnya sesuai SKGR (surat keterangan ganti rugi tanah) bukan miik tergugat sendiri.
"Gugatan tidak jelas bertapa ukuran arah mata angin dari 180 ha tidak dijelaskan panjang dan lebarnya. Apa lagi tergugat adalah sebagai pembeli tanah dari masyarakat yang sebelumnya telah dikuasai turun temurun. Karena itu kita akan mengajukan banding," tutup Fitri. (cha/hri)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini