Di SMPK Immanuel Pontianak, Dewi tak mau menyia-nyiakan kesempatan beasiswanya. Dia belajar dengan keras di tengah keterbatasan kondisi ekonomi keluarga. Dewi sangat menyukai pelajaran matematika.
Nilai matematikanya yang bagus membuat dia terpilih mewakili sekolahnya mengikuti lomba matematika. Di sekolah, Dewi di-drill dengan pelajaran tambahan di luar jam sekolah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dewi berbincang dengan detikcom, Minggu (25/9/2016) malam. Saat berbincang, Dewi sedang berada dalam MRT di Singapura menuju tempat murid les privatnya. Latar belakang suara penanda di dalam MRT pun bolak-balik terdengar.
"Saya dulu kurus, kurang gizi. Namun bersyukur otak saya nggak kurang gizi," candanya.
Di SMP, Dewi berhasil lolos lomba matematika hingga tingkat internasional. Dia ikut International Julior Science Olympiade (IJSO) di Azerbaijan.
"Di IJSO itu tesnya IQ dan saya masuk. Kemudian saya dipanggil ke Bandung, ke Jakarta mengikuti seleksi selama 1 bulan. Saya lolos ke tahap berikutnya dan berhasil menjadi satu dari enam orang yang berlomba ke luar negeri. Itu pertama kali saya keluar negeri, nggak keluar uang sama sekali," kenang dia.
Di IJSO Azerbaijan tahun 2009 itu, Dewi berhasil mengharumkan nama Indonesia dan meraih medali perak. Tak cuma medali, apresiasi juga diberikan berupa uang tunai.
![]() |
"Saya senang banget dikasih uang pertama kali, dapat uang hadiah perak sekitar Rp 20 juta. Itu kan gede banget, puji Tuhan. Pertama kali yang saya lakukan dengan uang itu adalah membetulkan toilet rumah. Toilet rumah rusak sekali, nggak ada tempat untuk duduknya. Kemudian untuk beli lemari buat keluarga saya, sisanya ditabung," tutur Dewi.
Lulus SMPK Immanuel, Dewi dibantu sang kepala sekolah Martin Teopilus mencarikan beasiswa untuk melanjutkan ke SMA. Berbekal medali perak dari IJSO, Dewi akhirnya diterima di SMAK Penabur Gading Serpong, Tangerang, Banten.
"Jadi di SMAK Penabur Gading Serpong itu ada program brilliant class. Itu program untuk anak IPA yang punya IQ bagus dan berkemauan tinggi bisa dapat beasiswa. Saya dapat beasiswa penuh. Ini pertama kali saya ke Tangerang untuk tinggal lama," tuturnya.
Di SMAK Penabur Gading Serpong, Dewi mendapatkan beasiswa penuh, tinggal di asrama dan semua akomodasinya ditanggung. Dewi mengenang masa ini dia bisa makan lebih enak dibanding saat di Pontianak dulu.
"Makannya di sini lebih bergizi. Sekolahnya juga betul-betul sangat mendukung di bidang sains, guru-gurunya juga suportif. Tapi saya belum bisa membantu ayah dan ibu saya," jelasnya.
Dia mengakui ingin menang dan mendapatkan uang untuk dikirimkan pada keluarganya di Pontianak.
Ayahnya, Lim Bun Phong (55) yang bekerja serabutan jadi tukang memperbaiki alat-alat elektronik sudah mulai sakit, komplikasi pencernaan hingga mengalami masalah pada paru-parunya. Ibunya, Lim Hoei Luan (56), juga bekerja serabutan sebagai pembuat dodol durian hingga berjualan baju dengan komisi yang tidak seberapa. Ayah ibu Dewi berjuang untuk menghidupi kakak perempuan hingga dua adik laki-lakinya yang masih sekolah hingga nenek dari sang ayah.
"Lomba-lomba sains itu saya ikuti semua. Lomba di ITB untuk anak SMA, lomba di UI, saya juara 1 dapat Rp 3 juta, lomba di UGM. Sering menang juga. Kalau dapat uang saya langsung kasihkan kepada orangtua saya," jelasnya.
Di SMA ini pula, Dewi berhasil lolos menjadi peserta International Chemical Olympiade (IChO) alias Olimpiade Kimia Internasional 2012 di Washington DC, Amerika Serikat. Dalam ajang sains dunia ini, Dewi lagi-lagi berhasil menggondol medali perak.
![]() |
"Saya terpilih satu dari empat peserta Indonesia yang ke AS. Dapat perak dan uang Rp 10 juta. Saya dibercandain ayah karena jago mendapat medali perak. Saya bersyukur," tuturnya.
![]() |
Bila di kelas 1 dan kelas 2 di SMAK Penabur Gading Serpong Dewi getol ikut lomba sains agar bisa mendapatkan uang, di kelas 3, Dewi mulai mencari uang dengan menjadi guru les.
"Kelas 3 sudah mulai lebih tenang sehingga saya ada waktu luang buat ngajar. Sudah nggak ikut lomba-lomba. Saya dibantu guru matematika saya kelas 1 SMA, Pak Anton Wardaya. Dia keluar dan buka bimbel Wardaya College, dan saya diminta membantu mengajar. Dia baik banget. Pak Anton tahu keadaan keluarga saya," tuturnya.
Lulus SMA, dia mendapat dorongan dari Anton Wardaya untuk melamar beasiswa ke kampus di Singapura. Kampus pertamanya adalah National University of Singapore (NUS). Di kampus ini, Dewi memenuhi semua kriteria akademis namun gagal di bahasa Inggris. Akhirnya, permohonan beasiswanya ditolak.
Sempat down. Namun berkat bantuan Anton Wardaya, yang punya kenalan seorang profesor di NTU, Dewi direkomendasikan ke NTU. Berbekal medali perak di Olimpiade Kimia Internasional, profesor kenalan Anton Wardaya pun melihat bakal akademis Dewi. Dewi akhirnya diterima berkuliah di NTU jurusan Teknik Material.
"Padahal saat itu pendaftaran sudah tutup, dan belum ada kampus yang menerima saya. Namun saya punya prestasi, berkat Pak Anton, saya diterima dan dapat beasiswa berkuliah di Singapura," jelasnya.
Dewi mendapat tawaran dua beasiswa sekaligus, dari pemerintah Singapura dan dari beasiswa Olimpiade Sains Indonesia (OSI). Dewi akhirnya memilih yang terakhir karena tak ada ikatan dinas yang mesti dijalaninya.
"Saya mau ambil apresiasi dari Indonesia. Kalau dari Singapura ada ikatan kerja mesti 3 tahun. Saya mau kerja di sini tapi nggak mau diikat," tuturnya.
Di Singapura, Dewi masih jungkir balik bertahan hidup karena dana beasiswa sering terlambat. (nwk/iy)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini