Berdasarkan PP Nomor 99/2012, pengetatan remisi terpidana narkoba harus mendapatkan surat justice collaborator (JC) dari penyidik. Tapi alur ini membuat masalah baru.
"Proses pengajuan JC yang disyaratkan dalam PP Nomor 99/2010 berpotensi terjadi berbagai pelanggaran seperti permintaan uang, suap dan lain-lain," kata anggota ORI, Ninik Rahayu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"JC yang diberikan oleh instansi tertentu, seperti kepolisian, tidak pernah dilakukan pemantauan untuk membongkar kejahatan dalam perkara tersebut karena JC dimaksudkan diberikan kepada narapidana yang diminta untuk membongkar kasusnya yang melibatkan orang lain, namun hal tersebut belum dilakukan," ujar mantan anggota Komnas Perempuan itu.
Selain itu, efektifitas JC juga dinilai belum maksimal. 'Kicauan' para pelaku itu tidak terukur apakah benar digunakan untuk membongkar kejahatan sejenis atau tidak. ORI juga menyatakan JC tidak bisa dijadikan sebagai alasan dikabulkannya pembebasan bersyarat tetapi hanya untuk mendapatkan remisi.
Ke depan, sosialisasi JC harus lebih dimaksimalkan ke para narapidana hingga keluarga.
"Sosialisasi syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan di dalam LP masih minim, hanya mengandalkan papan pengumuman dan ada beberapa warga binaan tidak mengetahui tentang JC sebagai salah satu syarat mendapatkan remisi," ucap Ninik.
Dalam FGD itu disepakati untuk mengubah PP 99/2012 kecuali untuk koruptor. Tapi untuk remisi terpidana narkoba dan teroris, forum sepakat sistem pemberian remisi dikembalikan seperti semula dengan berbagai catatan.
"Harus ada transparansi poin-poin seseorang mengapa mendapatkan remisi," pungkas Ninik. (asp/Hbb)











































