Salah satu yang paling penting yaitu tentang Tlogo (Telaga) Guyangan yang berada tepat di tengah kampung tersebut. Kampung ini berada di puncak sebelah timur Gunung Purba Nglanggeran, Padukuhan Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Meski berada di puncak gunung dengan ketinggian 625 mdpl, kampung ini tak pernah kesulitan air berkat Tlogo Guyangan. Secara kasat mata, telaga tersebut berupa sawah yang berada di cekungan batuan besar. Sedangkan di salah satu sisinya terdapat sumur mata air yang kini menjadi andalan hidup warga Kampung Pitu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayah Sugito, Yatnorejo (70) mengisahkan, Tlogo Guyangan bukan sembarang telaga. Meski tampak seperti bukan telaga, tapi dulunya telaga itu merupakan telaga terbesar di daerah itu.
"Tlogo Guyangan atau Mardidho itu tempat pemandian kuda sembrani tunggangan bidadari," beber Yatnorejo menceritakan kepercayaan penduduk.
Dikisahkan pula oleh Sugito dari catatan yang dibuat berdasarkan cerita dari sesepuh Kampung Pitu, Mbah Rejo, jejak kaki kuda sembrani masih bisa tampak di bebatuan yang mengelilingi telaga tersebut.
"Dulu abdi dalem Keraton Yogyakarta sering mengambil bekas tapak jaran (kuda) sembrani itu. Hanya dengan mantra tertentu batu yang ada bekas tapak kuda akan terlepas," kisahnya.
Tak hanya soal telaga dan cerita rakyat tentang kuda sembrani serta bidadarinya, warga Kampung Pitu dan sekitarnya percaya tak boleh ada pertunjukan wayang di daerah tersebut.
Paling tidak sejauh 5 kilometer dari Tlogo Guyangan, warga pantang menggelar pertunjukan wayang. Di luar radius itu, warga yang akan menggelar pertunjukan wayang harus menghadap ke Gunung Nglanggeran.
"Tidak boleh membelakangi gunung," kata Sugito. Percaya nggak percaya! (sip/dra)











































