Kisah Pahit Bilal Dipekerjakan sebagai Pengemis, Kini Jadi Pengrajin Topeng

Kisah Pahit Bilal Dipekerjakan sebagai Pengemis, Kini Jadi Pengrajin Topeng

Aditya Mardiastuti - detikNews
Senin, 19 Sep 2016 13:37 WIB
Foto: Aditya Mardiastuti/detikcom
Banyuwangi - Sudah sekitar tujuh tahun, Mustaq Bilal (35) menekuni pekerjaan sebagai pengrajin kesenian Barong. Dengan kondisi tanpa kaki dan satu tangan pahit getirnya berjuang mencari pekerjaan sudah dilakoninya.

Sebelum menekuni usahanya, Bilal mengaku sempat ditawari pekerjaan oleh kenalannya. Dia ditawari pekerjaan di luar kota dengan iming-iming gaji sebesar Rp 1,5 juta per bulan.

"Tahun 2009 saya pernah ikut orang ke Samarinda Kalimantan Timur. Katanya dipekerjakan sebagai penjaga toko kitab. Motivasinya ya untuk bekerja tidak ingin merepotkan orangtua," tutur Bilal saat ditemui di rumahnya Jalan kuntulan, Kelurahan Bakungan, Banyuwangi, akhir pekan lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mulanya Bilal dijanjikan perjalanan dari Banyuwangi menuju Samarinda menggunakan pesawat. Rupanya sebelum menuju Samarinda dia harus transit di rumah bosnya di Madura untuk melanjutkan perjalanan dengan kapal laut. Sesampai di Samarinda pekerjaan yang dijanjikan hanya tipuan. Rupanya bos yang menjanjikannya pekerjaan memang mencari orang-orang yang difabel untuk dipekerjakan sebagai pengemis.

"Sampai di sana ternyata saya diantar ke pasar disuruh ngemis. Saya kerja setengah hari dari pagi sampai siang dapat uang sampai Rp 200 ribu tiap hari," katanya.

Baca: Mandiri ala Bilal, Difabel Pengrajin Topeng asal Banyuwangi

Selama seminggu bekerja itu uang yang diterimanya langsung disetor ke bos yang mempekerjakannya. Meski belum mendapat upah, Bilal mengaku tidak betah dan memilih kabur daripada mengemis.

Bersama dua orang temannya yang juga mengalami cacat fisik Bilal akhirnya berhasil kabur menuju terminal. Bilal mengenang barang yang dibawanya adalah pakaian yang melekat di badannya dan satu handphone.

"Semua barang saya tinggal di sana , sampai di terminal saya telepon teman yang tinggal di dekat terminal untuk sembunyi. Sempat di sana sebentar kemudian jual hp buat beli tiket sampai Surabaya dan ke Banyuwangi naik kereta," kisah anak bungsu dari empat bersaudara ini.

Bilal mengaku pengalaman pahit itu menjadi pelajaran baginya. Tak mau ditipu orang lagi dia memilih menyalurkan hoby dan bakatnya memahat untuk membuat kerajinan barong.

"Alhamdulillah dari pengalaman itu saya jadi semangat bekerja. Sekarang saya memilih di rumah menemani ibu dan membuat kerajinan barong," tukasnya.

Foto: Aditya MT/detikcomFoto: Aditya MT/detikcom

Sayangnya perjuangannya menjadi pengrajin juga tidak mulus. Banyak orang sangsi Bilal bisa memahat dan mengerjakan kerajinan barong yang membutuhkan kelincahan tangan.

"Saya memang cacat dari lahir banyak orang meragukan kalau saya bisa membuat kerajinan barong. Masa saya bisa mengukir, kalau sudah seperti itu ya saya bilang orang normal saja bisa masa saya enggak. Intinya yang saya bisa saya kerjakan saya jalani," ujarnya mantap.

Bilal merasa tertantang bila mendapat pesanan yang rumit. Dia menyebut hal itu menjadi kebanggaan baginya karena diberi kepercayaan dari pelanggannya.

"Kadang saya dapat tantangan sulit-sulit hanya diberi contoh foto. Saya selalu bilang ke pelanggan Insya Allah bisa tapi enggak semirip di foto. Kalau pengerjaannya ukuran besar bisa seminggu tapi kalau ada contoh barangnya paling tiga hari selesai," cetusnya.

Foto: Aditya MT/detikcomFoto: Aditya MT/detikcom

Kini kerja kerasnya sudah membuahkan hasil. Nama Bilal sudah tersohor sebagai salah satu pembuat barong terkenal di Banyuwangi.

"Mungkin dari mulut ke mulut dan di daerah Banyuwangi sudah banyak yang tahu kalau saya pembuat barong," ujarnya merendah.

Dalam sebulan Bilal mengaku rata-rata menerima hingga dua buah pesanan. "Kadang belum tentu dalam sebulan ada pesanan tapi saya bersyukur bisa mandiri dan menafkahi orangtua," katanya. Kadang kala Bilal juga mengkaryakan teman-temannya untuk membantu. Rejeki itu dia bagi kepada teman-temannya yang menganggur atau bekerja sebagai buruh bangunan.

"Kadang kalau pas teman lagi kerja saya panggil untuk bantu saya. Kalau ada pesanan saya berani beri upah lebih tinggi dari pekerjaannya sebagai buruh bangunan. Saya beri upah Rp 50-75 ribu," tukas anak bungsu dari empat bersaudara ini.

Foto: Aditya MT/detikcomFoto: Aditya MT/detikcom
(ams/trw)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads