Kanit dari Subdit Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim Polri AKBP Endo Prihambodo mengatakan, para korban ini rata rata sudah terjerumus cukup jauh dalam dunia perdagangan anak, sehingga banyak yang sulit untuk melepaskan diri.
Lantaran sulitnya keluar dari dunia tersebut ditambah desakan kebutuhan ekonomi, membuat para korban malah menawarkan diri untuk diperdagangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walau begitu, sebenarnya modus awal yang dilakukan pelaku adalah dengan menawarkan bisnis dengan imbalan materi yang cukup menggiurkan. Target utama mereka ABG dari ekonomi kurang mampu atau dari keluarga bermasalah (broken home).
"Pada awalnya muncikari cenderung mendekati anak-anak dan menawarkan diri mau tidak di ajak berbisnis. Tapi kemudian bisa jadi anak ini ada yang kurang (mampu dari sisi finansial). Awalnya mencoba-coba dan mereka kemudian melakukan itu. Sekali mereka melakukan dan tejerumus dan penasaran," jelas Endo.
Hal tersebut dibenarkan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Dia mengatakan para predator seksual online ini bermula dari internet. Ada beberapa siklus yang mereka jalankan sebelum menjerat anak-anak ini dalam dunia prostitusi.
"Awalnya mereka menyelidiki anak, memikat anak, di mana si anak dalam situasi broken home, ditinggal pacar. Ini harus dilihat bagaimana mereka memanfaatkan dengan bujuk rayu," jelas Arist dalam diskusi.
Setelah mendapat kepercayaan anak, pelaku kemudian menjerat mereka dengan sesuatu yang mereka sangat inginkan.
"Karena lifestyle itu butuh biaya, akhirnya anak terbujuk untuk melakukan hal tersebut, sehingga terjadi pelecehan seksual pada anak, setelah itu siklus terakhirnya adalah dengan mencampakkan si anak," jelasnya.
Karena desakan keinginan dan kebutuhan hidup, si anak yang pernah terjerat akhirnya memutuskan untuk terjun ke dalam bisnis prostitusi. Kasus ini masih ditangani polisi dan sudah menetapkan 4 orang tersangka, yaitu 3 muncikari dan 1 pelanggan. (rii/miq)











































