Dalam undang-undang sendiri, belum ada mekanisme yang mengatur tentang pembuktian harta terbalik ini. Hal tersebut juga tidak dianggap sebagai kewajiban untuk dilaporkan.
"Enggak ada (mekanisme pembuktian harta terbalik) karena itu kan bukan kewajiban dan tidak diatur di undang-undang," ujar pengamat hukum tata negara Refly Harun saat dihubungi detikcom lewat telepon, Selasa (13/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu ketika ada kasus di pengadilan, misalnya seseorang didakwa dengan tindak pidana pencucian uang dan ditengarai hartanya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Selain KPK dan jaksa yang membuktikan, dia juga berusaha membuktikan apakah harta tersebut halal," kata Refly menjelaskan makna dari pembuktian terbalik terbatas.
Hingga saat ini masalah harta kekayaan calon kepala daerah diurus oleh institusi yang berwenang, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaporan harta kekayaan dapat melalui Laporan Hasil Keuangan Pejabat Negara (LHKPN).
"Ini kan untuk maju dalam pilkada, kewajibannya cuma menyerahkan laporan harta kekayaan, tetapi bukan melaporkan dari mana sumber hartanya tersebut," kata Refly.
Meski tak ada kewajiban di undang-undang, Refly mengapresiasi jika Ahok dan Sandiaga benar-benar mau membuka data harta kekayaan masing-masing. "Ini dapat membuka era baru transparansi," ucapnya.
"Maksudnya, kalau dia mau mengungkapkan harta kekayaannya, ya bagus saja, bagi publik itu juga bagus, karena itu kan mengenai asal harta kekayaan yang dipunya calon kepala daerah. Jadi harus dibedakan ya, (pembuktian harta terbalik) tidak ada kewajibannya dalam undang-undang," sambungnya.
Ahok menekankan pentingnya pembuktian harta terbalik dari para calon gubernur. Mekanisme pembuktian harta terbalik terhadap para calon bisa lebih efektif dibanding menerapkan kewajiban cuti kampanye, agar menjauhkan calon dari penyimpangan, dalam hal ini korupsi.
"Justru harusnya kalau mau bikin rata pertandingan, semua harus bisa buktikan hartanya dari mana. Baru rata," kata Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (6/9) lalu.
Ahok memandang substansi DPR selaku pembikin Undang-undang Pilkada yakni agar para calon bisa bertanding secara adil, entah calon itu petahana atau bukan. Maka calon petahana harus cuti supaya sama dengan calon lainnya, agar 'lapangan tanding menjadi rata', tak ada yang lebih tinggi.
"Kalau mau 'saingan rata' bukan kasih cuti. Kepala daerah yang korup kemudian cuti maka lebih enak dia dapat uang banyak juga. Dia bisa kerahkan semua. Di dalam juga bisa dikerahkan kalau kong-kalikong," kata Ahok.
(rni/hri)











































