"Kita sekarang sampai tingkat desa sudah mengenal dan pakai gadget canggih. Tapi lihat masyarakat kita masih kurang daging bahkan masih impor kedelai," jelas Dedi saat ditemui di sela-sela bertemu anggota Satlantas Polres Purwakarta untuk membahas evaluasi penggunaan kendaraan bermotor di kalangan pelajar, Kamis (8/9/2016).
Dia menilai, nalar kreatif para pemuda atau pelajar saat ini terkesan tidak dihargai. Bahkan contoh terakhir adalah pemberian nilai nol terhadap siswi di salah satu SMAN di Kota Bandung hanya gara-gara mengikuti olimpiade biologi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dedi berharap sosok guru harus bisa menganalisis sesuatu sebelum mengambil tindakan. Pasalnya sosok guru adalah bukan hanya memberikan ilmu akademis namun juga moral, spiritualitas, hingga pembentukan karakter anak. Hal itu berbeda dengan seorang instruktur.
Selain itu Dedi pun berharap guru mulai kreatif dan terbuka dengan perkembangan jaman. Seorang guru tidak boleh mengedepankan aspek normatif dalam pembelajaran yang nantinya hal itu malah akan 'menular' pada psikologis anak didiknya.
"Nanti anak ikut-ikutan hidup serba normatif. Lulus, bekerja harus melamar, nanti kerja normatif juga menunggu perintah. Negara tidak butuh seperti itu, tapi negara butuh orang-orang yang kreatif dan produktif," ucapnya.
Menurutnya, sekolah yang serba lengkap dengan fasilitas tidak menjamin anak akan berprestasi. Hal itu tentu saja harus didorong dengan pihak sekolah agar anak-anak menjadi sosok yang tumbuh mandiri dan siap bersaing.
"Pendidikan terbaik itu adalah yang sebanyak-banyaknya memberikan pengalaman hidup. Bukan yang melahirkan sebanyak-banyaknya ulangan," pungkas Dedi.
(dhn/dhn)











































