Kasus Novanto, MK Beri Tafsir Batasan Pasal 'Permufakatan Jahat' Korupsi

Kasus Novanto, MK Beri Tafsir Batasan Pasal 'Permufakatan Jahat' Korupsi

Jabbar Ramdhani - detikNews
Rabu, 07 Sep 2016 18:39 WIB
Sidang MK (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permufaktan jahat dalam delik korupsi harus melibatkan dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana. Putusan ini diketok atas permohonan mantan Ketua DPR Setya Novanto.

Setya Novanto menggugat Pasal 15 UU Tipikor yang berbunyi:

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Novanto, kalimat 'permufakatan jahat' multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh sebab itu, ia meminta MK menafsirkan frase 'permufakatan jahat' itu.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Frase 'pemufakatan jahat' dalam pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai: pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana," ujar Ketua MK Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (7/9/2016).

MK berpendapat karena hal itu tidak sesuai dengan UUD 1945. Sebab adalah merupakan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat.

"Apalagi ketentuan pasal 14 itu sama sekali bukan ketentuan pidana tetapi untuk membatasi lex spesialis sistematis dalam tindak pidana korupsi," papar MK.

Namun putusan itu tidak diketok secara bulat. Tiga hakim konsitusi I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo dan Manahan MP Sitompul menolak putusan tersebut dan membuat nota dissenting opinion. Palguna beralasan pemohon tidak mempunyai kualitas menjadi penggugat karena Novanto adalah Ketua DPR. Sehingga kualifikasi persorangan tidak memiliki kedudukan hukum selaku pemohon.

Adapun Suhartoyo beralasan UU Tipikor yang bersifat khusus dari KUHP sehingga memiliki kekhususan termasuk dari sisi materil, termasuk dari sisi percobaan, pembnuan dan permufakatan jahat.

Manahan malah menilai frase permufakatan jahat dalam pasal 15 tersebut haruslah dihapus.

"Karena merupakan norma yang samar pengertiannya, dan kedudukannya tidak jelas sehingga tidak menjamin kepastian hukum," kata Manahan.

Novanto menggugat pasal tersebut pasca kasus Papa Minta Saham. Usai diturunkan dari kursi Ketua DPR, Novanto disidik Jaksa Agung HM Prasetyo dengan pasal permufakatan jahat. Merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan 'frase' tersebut, ia menggugat ke MK. (asp/van)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads