Pihak sekolah tak menyimpan dendam sedikitpun pada Dermawan, Rio, dan Yusuf. Wakil Kepala Sekolah bidang Humas SMA Negeri 3 Surakarta, Mujapar, menegaskan bahwa aksi siswa tahun 2008 itu justru menjadi cambuk dan ajang introspeksi bagi pihak pengelola sekolah untuk melakukan pembenahan ke depan, khususnya dalam hal pengelolaan dana. Dia menyadari bahwa urusan keuangan adalah hal sangat rawan dan perlu pengelolaan secara baik dan transparan.
"Semua anak-anak kami, tidak mungkin kami telantarkan atau kami musuhi. Apalagi anak-anak kreatif seperti itu. Ini justru menunjukkan bahwa anak-anak SMAN 3 Surakarta bukan anak-anak biasa. Buah dari aksi anak-anak itu justru menjadi cambuk bagi kami untuk terus meningkatkan kualitas dan semakin berdaya saing. Kami sekarang menjadi lebih terbuka. Pengelolaan dana melibatkan komite sekolah, dewan pakar dan akuntan publik. Komite sekolah tidak hanya sekedar sebagai legalisasi kegiatan. Komite sering koordinasi sendiri, kadang mengundang kami. Ini hikmah besar yang kami petik," ujar Mujapar kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Namun Mujapar mengaku sempat kaget ketika mengetahui video aksi siswa delapan tahun lalu itu kembali mengemuka dan menjadi viral di media sosial. Banyak yang salah sangka lalu menghubungi pihak sekolah karena dikira aksi itu baru terjadi sekarang. Siapa yang mengangkat kembali video itu, pihak sekolah tidak tahu. Demikian juga Derma dan kawan-kawan menegaskan bahwa bukan mereka yang kembali mengangkat video itu sehingga menjadi viral.
"Siapapun orangnya dan apapun niatannya, kami layak berterimakasih. Kejadian ini sudah lama berlalu, tapi dihangatkan lagi. Dengan diunggah lagi seperti ini kan berarti kami ini terus diperhatikan. Akhirnya semakin banyak masukan yang kami dapatkan dari berbagai pihak," lanjut Mujapar.
Aksi besar-besaran siswa SMA 3 Solo terjadi pada 2008 silam. Belakangan, aksi itu tersebar secara viral melalui media sosial.
Pekan lalu, Dermawan dan 2 temannya, datang ke sekolah. Mereka diterima oleh sejumlah guru dan melihat-lihat sekolah.
"Pak Jokowi yang saat itu menjabat wali kota di Solo, membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi. Rekomendasi tim menyebutkan terjadi dugaan penyelewangan dana sekolah. Dari angka dugaan Rp 1,2 miliar yang kami sebutkan, tim menyebutkan terjadi penyelewengan Rp 700 juta," kata Dermawan mengenang peristiwa yang menghebohkan jagat pendidikan Solo.
Dermawan bersama tim 11 yang beranggotakan siswa berhasil mendobrak situasi. "Semua tekanan kami hadapi dengan tabah padahal kami juga sedang persiapan khusus menghadapi UN. Tapi kami bersyukur bahwa para penggagas aksi yang kelas tiga semuanya bisa lulus. Sebagian besar menempati ranking atas," jelas Dermawan.
Usai lulus, mereka melanjutkan ke bangku kuliah dan bekerja. Sebagian besar di antaranya bekerja di dunia swasta.
Hubungan baik dengan pihak sekolah dan para guru terus dijaga. Derma dan Rio sering datang ke SMA 3 untuk menawarkan unit-unit perumahan yang dibangunnya. Ariyadi lebih sering lagi karena membimbing dan mendampingi adik-adik angkatannya dalam mengembangkan organisasi.
![]() |
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini