"Jadi pidana ini sebenarnya ditujukan pada perbuatan, kalau baca pasal 14C ayat (3) KUHP di situ dikatakan orang yang mendapat hukuman percobaan tidak boleh ditabrak hak beragama dan hak berpolitiknya, jika dia melanggar umpamanya ya tidak boleh naik haji, tidak boleh dipilih dan memilih, itu pengertiannya pasal 14C, jadi jangan dipelintir," kata Rufinus di Gedung DPR, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Jumat (2/9/2016).
Rufinus mengatakan bahwa ada anak bangsa yang ditahan dipenjara karena vonis pengadilan namun mereka adalah sosok yang capable sebagai pemimpin seperti Sukarno. Sehingga, kata dia, tidak menutup kemungkinan seseorang yang dalam masa percobaan bisa menjadi kepala daerah. Apalagi dikatakan ini menyangkut masalah hukuman percobaan bukan hukuman kurungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rufinus juga menyebutkan bahwa apabila ingin menolak, KPU harusnya bukan menggunakan Undang-Undang Pemasyarakatan, namun menggunakan KUHP yang membahas masalah narapidana. Dia beranggapan bahwa untuk mengatur masalah narapidana dalam pilkada adalah KUHP, bukan undang-undang pemasyarakat karena undang-undang tersebut mengatur seseorang yang sedang ditahan atau dikurung.
"Saya tidak peduli mau ada orang yang dicalonkan kek, engga kek saya sabodo teuing, saya engga ada urusannya dengan itu tapi sebagai akademisi, politisi, dan praktisi saya berpegang teguh pada konsep akademik yang mengatakan bahwa ini adalah amanat dari sebuah pasal dalam KUHP," imbuh Rufinus.
Dia pun mempertegas bahwa seseorang yang mengalami hukuman percobaan tetap memiliki boleh memiliki hak berpolitik.
"Saya bersikukuh, sebagai politisi saya mengamini sebuah pasal yang mengatakan seseorang yang mengalami percobaan hukuman tidak boleh di dismiss hak beragama dan berpolitik, cek pasal 14C ayat 3," tegasnya. (erd/erd)