Sidang LGBT di Indonesia dan Cerita Austria yang Menolak Perkawinan Sejenis

Sidang LGBT di Indonesia dan Cerita Austria yang Menolak Perkawinan Sejenis

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 24 Agu 2016 12:10 WIB
Sidang nasib LGBT di MK (ari/detikcom)
Jakarta - Guru Besar IPB Bogor Prof Dr Euis Sunarti resah dengan banyaknya kumpul kebo dan homoseks di masyarakat. Ia dan 11 orang lainnya pun meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menafsir ulang KUHP dengan harapan pelaku homoseks/LGBT dikenai hukuman pidana penjara.

Euis dkk menghadirkan ahli untuk menguatkan argumentasinya, salah satunya ahli pidana Universitas Padjadjaran (Unpadj) Bandung, Atip Latipulhayat. Perdebatan kriminalisasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) meluas ke konsep HAM, konsep yang kerap dijadikan tameng gerakan LGBT. Tidak hanya itu, isu tersebut juga meluas kepada konsep perkawinan sejenis.

"Hukum perkawinan dalam suatu negara yang satu tentu berbeda dengan negara lainnya dan biasanya sesuai dengan kehidupan sosial, budaya, dan agama setempat," kata Atip sebagaimana tertuang dalam risalah sidang MK yang dikutip detikcom, Rabu (24/8/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atip memaparkan pendapatnya itu dalam sidang di MK pada Selasa (23/8) kemarin. Menurut Atip, tidak ada HAM yang berlaku universal secara absolut, tetapi partikular. Atip mencontohkan dalam putusan Mahkamah HAM Eropa pada kasus the Schalk-Kopf vs Austria.

Schalk dan Kopf adalah pasangan sesama lelaki di Austria yang menuntut perkawinannya diakui Austria. Pasangan sejenis berpendapat bahwa Pemerintah Austria gagal dalam memberikan perkawinan sejenis dan telah melanggar Pasal 12 Konvensi HAM Eropa.
Pasal tersebut berbunyi:

Men and Women of marriageable age has the rights to marry and found the family recording to the national laws governing the exercise of this rights.

"Mahkamah HAM Eropa dalam putusannya menolak tuntutan dari Schalk and Kopf dengan menerapkan white margin of appreciaton. Pertimbangan Mahkamah HAM Eropa adalah Austria dan masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai Kristiani dan dalam Kristiani, perkawinan sejenis dilarang," cetus Atip yang pernah mendaftar hakim konstitusi itu.

Kasus di Austria berbeda dengan kasus perkawinan sejenis di Belanda, sebelum Pemerintah Belanda melegalkan perkawinan sejenis. Dalam kasus perkawinan sejenis itu, Mahkamah HAM Eropa selalu memenangkan permohonan warga.

"Alasan Mahkamah HAM Eropa adalah bahwa Pemerintah Belanda dan masyarakatnya dalam praktiknya telah menerima dengan baik mereka yang memutuskan untuk hidup sebagai pasangan sesama jenis," papar Atip.
"Oleh karena itu ketika ada permintaan dari warga negaranya agar perkawinan sesama jenis ini diakui dalam hukum Belanda, Mahkamah HAM Eropa pun mendukungnya dan memutuskan kalau Pemerintah Belanda harus mengakui perkawinan sesama jenis tersebut. Sampai pada akhirnya Pemerintah Belanda resmi memberikan pengakuan terhadap perkawinan sesama jenis," kata Atip menegaskan.

Dari fakta di atas menunjukkan bahwa HAM tidaklah absolut. Bahkan di Eropa sendiri yang menjadi kiblat HAM, antar negara masih terjadi penafsiran yang berbeda, tergantung keyakinan masyarakat negara setempat.

"Dari dua kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pengakuan hukum LGBT, termasuk di dalamnya pengakuan atas perkawinan sejenis adalah sepenuhnya keputusan masing-masing negara. Praktik terhadap pengakuan kaum LGBT di Eropa saja masih beragam. Bahkan Mahkamah HAM Eropa sampai saat ini pun belum pernah memberikan kepastian yang menyatakan bahwa hak atas perkawinan sejenis itu adalah hak universal. Apalagi jika kita melihat praktik yang lebih luas lagi di level internasional," pungkas Atip.

Sebagaimana diketahui, Prof Dr Eus menggugat pasal zina, perkosaan dan homoseks dalam KUHP. Pasal yang digugat salah satunya Pasal 292 KUHP. Pasal itu saat ini berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Pemohon meminta pasal itu menjadi:

Orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang dari jenis kelamin yang sama, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.


(asp/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads