Menjelang medio Agustus 2016 ini saya sempat tertegun dan hampir-hampir tidak percaya. Bagaimana mungkin rejeki yang melimpah kemudian begitu mudah berubah menjadi "fitnah"? Kepala saya hanya menggeleng-geleng di depan saudara sebangsa saya yang menjadi pesakitan di sebuah hotel prodeo di kota tengah negeri ginseng, Korea Selatan. Senyumnya yang penuh kegembiraan dalam perjumpaan itu, tidak mampu menghapus kesan lamanya hukuman yang harus dijalani di negeri orang: 12 tahun!
Benar-benar mengherankan. Pria di depan saya ini tidak bertampang angker. Tinggi tubuhnya sedang. Tangannya tidak berotot. Bahkan wajahnya sangat lembut dan cenderung "surgawi". Bila tersenyum, membuat yang diajak bicara menjadi tenang. Tidak terlihat tato secuil pun. Mana Mungkin orang seperti ini pernah melakukan pembunuhan terhadap seorang warga asing lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahkan, saya pun jadi lupa mengirim uang ke anak istri di Indonesia. Tuhan mungkin marah lalu memberikan pelajaran besar kepada saya. Alkohol telah membawa saya ke tempat yg dingin Ini," imbuhnya.
Ya, pria berbadan kerempeng ini memang layak menyesali perjalanan hidupnya. Berangkat ke Korea dalam keadaan papa, meninggalkan sanak saudara, untuk mencari sesuap nasi. Menjadi seorang TKI. Begitu Tuhan mengabulkan permintaannya dan bahkan melebihkan dari apa yg diinginkannya, ia lupa semua niatnya. Kini sudah bertahan-tahun sudah anak dan istrinya terbengkalai entah bagaimana. Ia hanya mampu berdoa dan mencoba kembali ke jalan ilahi.
Peristiwa itu sendiri cukup mencengangkan dan menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan di Korea. Bahkan, kala itu, media setempat ikut meramaikannya. Sebuah peristiwa besar pembunuhan beraroma alkohol.
Pria yang baru beberapa tahun mengantongi uang dua ribuan dolar per-bulan ini suatu sore bermaksud untuk berkunjung ke "rumah kaca", tempat para wanita memberikan layanan keduniawian. Sesampainya disana, ia melihat dan memilih-milih yang sesuai selera nafsunya. Di situlah ia bertemu dengan warga asing lain yang dianggapnya tengil dan sok jagoan. Tanpa sebab yang jelas, terjadi pertengkaran yang tidak perlu.
Merasa dirinya kuat dan disepelekan pihak lain, saudara kita ini segera pulang ke kost-nya untuk mencari teman-temannya. Ia ingin berkelahi tapi harus menang, ia memanggil bolo-bolonya. Tidak lupa, agar lebih terasa berani, maka beberapa botol miras lokal "soju" ditenggak beramai-ramai.
Sesampai di tempat tujuan, dengan semangat "pantang mundur", mereka mencari si "asing" yang berani berlagu. Di bawah naungan keperkasaan alkohol mereka menemukan orang yang sepertinya dicari sejak tadi. Tanpa babibu, saudara kita itu mengunus pisau lalu bles. Tumbanglah sang lawan. Sayang sejuta sayang, ia bukan orang yang dicari. Hanya mirip orang yang dicari. Alkohol telah membutakan matanya.
Dalam persidangan, teman-teman yang ikut dalam persekongkolan hanya mendapat hukuman ringan lalu dideportasi. Sang pelaku, saudara kita itu, diganjar 12 tahun penjara. Ia dinilai telah melakukan kesalahan pembunuhan di bawah bayang-bayang miras.
Kini, 9 tahun telah berlalu. Ia habiskan hari-harinya di balik terali besi. Ketika tidak bisa mengonsumsi minuman keras, pria ini kembali ke alam aslinya: anak desa yang lugu, baik dan suka menolong. Itulah yang membuat pihak penjara memberikan pekerjaan baginya agar bisa menabung untuk masa tuanya nanti.
"Saya jalani takdir ini dengan penuh keikhlasan. Saya tidak melawan kehendak Tuhan. Kalau boleh meminta, nanti saat Anda menengok saya lagi, tolong bawakan saya seperangkat alat shalat. Sajadah, sarung dan kopyah yang baru. Sudah sembilan tahun peralatan salat saya tidak pernah ganti. Saya ingin nampak gagah di muka Tuhan," ujarnya sambil tersenyum. Saya ngeloyor pulang dengan sejuta pikiran.
*Penulis adalah WNI tinggal di Seoul, Republik Korea.
(try/try)











































