"Kondisi peradilan di Indonesia di bawah Mahkamah Agung RI semakin memperihatinkan. Reformasi peradilan yang diharapkan masih jalan di tempat karena nyatanya tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan," kata Direktur LBH Jakarta, Alghiffary Aqsa dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat (19/8/2016).
Dalam kaca mata LBH Jakarta, kekuasaan kehakiman Indonesia masih belum merdeka dari suap, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) hingga maladministrasi. Kepercayaan masyarakat terhadap peradilan berada di titik nadir. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan kondisi dan kinerja lembaga peradilan di bawah MA sangat memprihatinkan dan dipenuhi praktik korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Investigasi ORI berfokus pada pelayanan pendaftaran perkara, jadwal sidang, pemberian salinan dan petikan putusan. Senada dengan Ombudsman RI, Komisi Yudisial (KY) dalam kurun waktu empat bulan pertama tahun 2016, telah menerima 488 laporan yang masuk langsung dari masyarakat, termasuk surat tembusan ke KY sebanyak 527 laporan. Jika diakumulasi, ada 1.060 laporan yang masuk.
"Ini menandakan masyarakat masih banyak yang kecewa dengan pelayanan pengadilan," cetus Aqsa.
Tak cukup data diatas, Dalam registrasi penanganan kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), per April 2016 setidaknya ada 27 kasus yang melibatkan aparatur MA. Tujuh panitera dan dua puluh hakim termasuk ketua pengadilan. Jajak pendapat harian koran nasional menggambarkan 75,7 persen responden menilai citra hakim buruk. Citra hakim itu lebih buruk dibandingkan dengan citra panitera, kejaksaan, dan pengacara. Jajak pendapat juga menyimpulkan 8 dari 10 responden menilai reformasi peradilan belum berhasil dilaksanakan.
Dibandingkan dengan negara tetangga berdasarkan World Justice Project Rule of Law 2015, Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 102 negara. Kondisi tersebut mengamini Indeks Rule of Law 2015 yang dirilis World Justice Project, yang menyatakan penegakan hukum Indonesia sangat rendah yang menempatkan Indonesia di peringkat 52 (0.52) dari 102 negara dunia.
Indonesia juga termasuk Negara dengan peringkat terbawah di antara 15 negara Asia-Pasifik, yaitu di peringkat ke-10. Peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan Filipina. Salah satu penyumbang poin buruk pada pemeringkatan ini adalah rendahnya integritas dan etika di
lingkungan peradilan.
Indonesia berada di peringkat ke-74 (dari 102 negara dunia) atau ke-14 (dari 15 negara Asia-Pasifik). Rendahnya posisi Indonesia juga karena sulitnya warga mendapat akses civil justice melalui
peradilan. Pada dimensi ini, Indonesia berada di peringkat ke-83 (102 negara dunia) atau ke-13(dari 15 negara Asia-Pasifik).
"Sayangnya persoalan serius ini sampai detik ini belum mendapatkan respon yang memadai dari Ketua MA sebagai pimpinan lembaga peradilan di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika MA tidak melihat persoalan mafia hukum atau korupsi yudisial sebagai sesuatu yang penting untuk segera diselesaikan," cetus Aqsa.
Sikap tidak jelas, khususnya Ketua MA, menurut LBH Jakarta, mengindikasikan bahwa MA tidak memiliki komitmen dalam melakukan pembenahan secara menyeluruh karena membiarkan praktek korupsi yudisial.
"Ketiadaan sikap yang tegas dan jelas dari pimpinan tertinggi MA tentu akan menggangu marwah dan martabat lembaga pengadilan, dan lebih jauh akan semakin menghancurkan kepercayaan publik terhadap pengadilan dan hukum Indonesia," papar Aqsa.
Menanggapi situasi tersebut, Kabid Fairtrial LBH Jakarta, Arif Maulana menyatakan praktek buruk lembaga peradilan ini berdampak meluas dan serius pada akses dan terlanggarnya hak masyarakat
Indonesia untuk memperoleh keadilan.
"Oleh karena itu, rentetan kasus dan masalah yang terjadi di lembaga peradilan ini harus disikapi serius dan segeram," cetus Arif.
Sementara itu, Hatta Ali dalam pidato ultah MA mengingatkan tiga bahaya yang bisa mengintervensi independensi hakim.
"Segenap aparatur lembaga peradilan harus awas dan waspada terhadap berbagai macam intervensi. Pertama intervensi kepentingan dari para pihak yang beperkara. Kedua, intervensi harta dan ketiga intervensi publik terhadap jalannya proses peradilan," kata Hatta Ali. (rvk/asp)











































