"Pertanyaannya berkisar tentang bagaimana mekanisme pengusulan, sesuai ketentutan memang harus diusulkan oleh daerah, itu saja," ucap pria yang karib disapa Donny itu di KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (12/8/2016).
Donny menyebut bahwa anggaran itu harus diusulkan tetapi setelah itu dia tidak tahu kelanjutannya. Donny memang pernah ditunjuk sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Sumbar pada 15 Agustus 2015 sampai 12 Februari 2016.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Donny mengaku hanya melanjutkan apa yang telah diusulkan oleh Pemprov Sumbar sebelumnya. Sebelum Donny menjadi Pj, posisi Gubernur Sumbar ditempati Irwan Prayitno yang kemudian cuti untuk maju lagi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan memenanginya.
"Saya hanya melanjutkan apa yang sudah diusulkan, saya selaku penjabat gubernur ketentuan di UU memang saya harus mengusulkan," kata Donny.
Namun Donny mengaku tidak tahu perusahaan mana saja yang terlibat dalam pengurusan anggaran tersebut. Dia juga mengaku tak mengenal Suprapto selaku Kepala Dinas Prasarana Jalan dan Tata Ruang dan Permukiman Pemerintah Provinsi Sumbar yang telah dijadikan tersangka.
"Saya tidak tahu, intinya sesudah surat itu bergulir saya tidak tahu apa dan bagaimana prosesnya," kata Donny.
Sebelumnya, Irwan lebih banyak menghindar usai menjalani pemeriksaan di KPK. Dia enggan berkomentar tentang kasus suap pengurusan anggaran di DPR untuk alokasi Provinsi Sumbar pada APBN-P tahun 2016.
"Tanya pemeriksa. No comment (tentang 12 ruas jalan yang diusulkan)," kata Irwan, sebelumnya.
Sebelumnya, salah satu tersangka yaitu Yogan Askan mengatakan bahwa Irwan sebagai kepala daerah pasti tahu tentang rencana proyek yang berbau suap tersebut. Apalagi, kasus ini menyeret salah satu anak buah Irwan yaitu Suprapto selaku Kepala Dinas Prasarana Jalan dan Tata Ruang dan Permukiman Pemerintah Provinsi Sumbar.
"Sebagai pemerintah daerah, tentu (Irwan) pasti tahu. Sebagai kepala daerah, dia tentunya tahu pengajuan anggaran (proyek itu)," kata Yogan usai menjalani pemeriksaan di KPK.
Sejauh ini, penyidik KPK masih berkutat dengan saksi-saksi dari sisi Pemprov Sumbar. Padahal ada satu hal yang masih janggal dalam kasus tersebut yaitu peran Putu Sudiartana. Politisi Partai Demokrat itu masuk ke Komisi III DPR yang menbidangi hukum tetapi mengurus masalah anggaran tentang infrastruktur yang seharusnya masuk ke Komisi V DPR.
Oleh sebab itu, seharusnya penyidik KPK memanggil berbagai pihak yang dianggap mengetahui tentang kasus tersebut termasuk dari Komisi V DPR yang membawahi masalah infrastruktur serta dari Badan Anggaran (Banggar) DPR. Hal itu pun sempat disampaikan Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati.
"Yang pasti kami akan mendalami keterangan-keterangan yang sudah diungkap oleh tersangka maupun saksi-saksi, termasuk keterlibatan anggota DPR lain maupun anggota partai yang lain. Jadi masih didalami semua," kata Yuyuk, Rabu, 3 Agustus lalu.
"Yang pasti digali lagi peran dia dalam kasus tersebut apa saja," ujar Yuyuk menambahkan.
Putu disangka menerima uang terkait pengurusan proyek infrastruktur jalan di Sumatera Barat melalui transfer antar bank. Uang yang ditransfer mencapai Rp 500 juta dalam 3 termin yaitu Rp 150 juta, Rp 300 juta, dan Rp 50 juta. Diduga uang tersebut tidak hanya berasal dari satu sumber saja tetapi dari 3 orang yang belum diungkap KPK.
Selain itu, penyidik KPK juga menyita uang SGD 40 ribu dari kediaman Putu yang disebut pengacara Putu, M Burhanuddin, sebagai uang untuk liburan Putu dan keluarganya. Namun demikian, KPK masih menelusuri asal muasal duit tersebut.
"Yang dia tolak adalah asal muasal uang SGD 40 ribu yang dianggap uang suap. Dia maunya uang tersebut jangan dikait-kaitkan dengan tindak pidana," kata Burhanuddin beberapa waktu lalu.
Dalam kasus ini, KPK juga telah menetapkan 4 tersangka lainnya selain Putu. Keempatnya yaitu Noviyanti selaku staf pribadi Putu, Sehaemi selaku orang dekat Putu, PNS di Sumbar bernama Suprapto dan seorang pengusaha bernama Yogan Askan. (dhn/hri)











































