Masyarakat kadang mengeluhkan pengamen yang meminta uang dengan cara memaksa. Bahkan, terkadang jika mereka tidak diberi uang maka kata-kata pantas keluar dari mulut oknum pengamen.
Stigma negatif yang tertanam di benak sebagian masyarkat itu terkadang membuat mereka menyamaratakan seluruh pengamen memiliki perilaku serupa. Sehingga mereka memandang pengamen sebelah mata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau di tolak atau wajah kesal pengunjung dan pengendara mah udah biasa. Kami kan hanya mau menghibur, kalau mereka tidak mau ya enggak maksa," kata Zulki Bilal pemain biola Plago kepada detikcom di Jalan Ir. H. Juanda, Kota Bandung, Jumat (12/8/2016).
Tidak hanya penolakan masyarakat, Plago juga kerap harus kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP dan Dinsos Kota Bandung yang sedang melakukan penertiban. Tak jarang mereka tertangkap dan alat musiknya disita petugas.
Namun, atas dasar kebutuhan ekonomi, empat orang anak muda ini tetap turun ke jalan dengan alat musik seadanya. Tetapi tetap menghibur bukan hanya sekedar ngamen asal-asalan.
"Kami kalau ngamen dengan karya, bukan asal-asalan. Musik sudah jadi kegemaran, jadi istilahnya hobi jadi uang," terang Bilal.
Tetapi tak selamanya duka menyelimuti mereka. Terkadang keberuntungan datang menghampiri. Salah satunya masyarakat yang mengapresiasi karya mereka.
Beberapa cafe atau rumah makan yang pernah Plago sambangi, pengunjungnya menerima mereka dengan baik. Bahkan, tak jarang pengunjung memberikan uang dengan jumlah besar.
"Biasanya yang ngasih besar itu kalau request lagu. Malah pernah ada yang ngasih sampai Rp 500.000, macam-macamlah. Intinya kami merasa dihargai dengan karya seni yang kami perlihatkan," ujar dia.
Bagi mereka berempat, menjadi pengamen bukan keinginan melainkan pilihan. Bahkan, dengan kondisi ini mereka beberapa diantaranya terpaksa putus sekolah.
"Kalau boleh milih, pengennya sekolah. Karena pendidikan penting. Tapi kondisinya tidak memungkinkan," kata dia.
(dra/dra)