Perusahaan kelapa sawit itu digugat secara perdata oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) karena telah merusak lingkungan hidup. PT Kallista Alam membakar sekitar seribu hektare hutan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada pertengahan 2012 lalu.
Atas ulah tersebut, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) menggugat PT Kallista Alam ke pengadilan. PT Kallista Alam diminta mengganti rugi materiil sebesar Rp 114 miliar ke kas negara dan dana pemulihan lahan Rp 251 miliar. Gayung bersambut. Pada 28 November 2013, Pengadilan Negeri (PN) mengabulkan seluruh nilai gugatan tersebut. PT Kallista Alam total harus menanggung denda Rp 366 miliar!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak tinggal diam, PT Kallista Alam mengajukan kasasi. Tapi apa kata MA?
"Menolak permohonan kasasi PT Kallista Alam atas termohon Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia," putus majelis hakim sebagaimana dilansir website MA, Selasa (26/6/2016).
Baca Juga: Jalan Sunyi SBY 'Menggebuk' Pembakar Hutan dan Menang Rp 366 Miliar
Menurut MA, menentukan ganti rugi materiil dalam perkara lingkungan hidup tidak sama dengan menentukan ganti rugi materil dalam perkara lainnya yang jumlah dan ukurannya dapat diukur dengan harga pasar sebuah produk atau objek tanah.
"Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memiliki fungsi ekologis yang sangat kompleks yang banyak manfaatnya bagi manusia," ucap majelis hakim yang diketuai hakim agung Takdir Rahmadi dengan anggota Nurul Elmiyah dan I Gusti Agung Sumanatha.
Majelis kasasi berpandangan kompleksitas dan manfaat lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dan dijelaskan antara lain oleh ahli lingkungan hidup mau pun oleh kearifan lokal setempat.
"Oleh sebab itu, nilai uang atau harga kerusakan sumber daya alam dapat dibantu dengan keterangan ahli dan pengetahuan hakim yang diperoleh dari pemeriksaan setempat. Sekali lingkungan hidup mengalami kerusakan atau penurusan kualitas dan kuantitas, maka upaya pemulihan yang dilakukan oleh manusia tidak dapat mengembalikan sepenuhnya pada lingkungan hidup keadaan semua," ujar majelis dengan suara bulat.
Manusia, sebut majelis, tidak mampu menciptakan sumber daya alam karena penciptaan itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Mahe Esa.
"Oleh sebab itu, menentukan sebab akibat antara aktifitas tergugat dengan terjadinya kebakaran lahan, harus mendasarkan pada doktron in dubio pro natura yang mengandung makna bahwa jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, maka pengambil keputusan baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdaka dan administrasi lingkungan haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup," pungkas majelis dalam putusan yang diketok pada 28 Agustus 2015.
Setelah 11 bulan lebih berlalu, putusan itu akhirnya dilansir. Kini proses hukum berpindah ke pemerintah untuk mengeksekusi putusan fenomenal itu. (asp/trw)