Pesona Pasar Ikan di Korsel

Anyonghaseo (22)

Pesona Pasar Ikan di Korsel

M Aji Surya* - detikNews
Jumat, 22 Jul 2016 13:56 WIB
Pesona Pasar Ikan di Korsel
Foto: M Aji Surya/detikcom
Busan - Anyonghaseo. Kebersihan dan kenyamanan menjadi hal penting bagi siapapun. Apalagi bagi pelancong. Bukan hanya tempat bersejarah yang bisa dijual kepada turis, namun juga pasar ikan. Semua hal punya daya tarik asal ditata dengan baik.

Pergi ke pasar? Sebagai seorang laki-laki yang berotak tradisional, saya terus terang malas. Sepertinya, pergi ke pasar adalah lahan yang menjadi "jajahan" kaum hawa. Maklumlah, di banyak tempat yang saya datangi, pasar seringkali berkonotasi dua hal: kotor dan bau. Akibatnya sangat sederhana, masuk pasar terasa tidak nyaman. Di Jakarta dan beberapa kota, pasar tradisional sudah mulai dipermak sedemikian rupa sehingga lumayan bersih.

Suasana pasar ikan (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Sebagai manusia yang "katrok", saya terus terang kaget dan cenderung malas, saat ditawari untuk berwisata ke pasar ikan di Tongyeong, kota paling ujung selatan Korea. Kesan pasar yang masih berkecamuk dalam pikiran ini makin runyam dengan kemungkinan bau amis yang bisa menyengat dan menusuk-nusuk hidung. Belum lagi bayangan aneka ikan yang dikeringkan bersama ribuan lalat yang beterbangan, berpesta pora. Ini sangat bertentangan dengan rasa ingin tahu yang juga terus membuncah. Ufh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan bismillah, akhirnya saya memberanikan diri untuk memasuki kawasan yang bertentangan dengan batin ini. Sekilas, dari luar, pasar ikan Tongyeong mirip dengan hanggar pesawat, alias tidak terlalu menarik. Bahkan, di sekeliling pasar juga terlihat orang menjual dagangan ikan yang beraneka jenis. Ada yang hidup, ada juga yang mati. Yang membuat heran, meski di musim panas, jualan ikan di tenda pinggir pasar itu tidak dikunjungi oleh wisatawan yang bernama lalat.

King crab di dalam ember

Memasuki pasar, nyaris tidak ada bedanya dengan pasar di Indonesia. Pedagang menempati lapak-lapak kisaran empat kali empat meter persegi. Yang mungkin sedikit beda adalah, hampir semua ikan dibiarkan hidup. Sebagian dibiarkan di dalam ember, namun kebanyakan dibiarkan dalam akuarium yang cukup besar. Cumi-cumi, octopus, ikan satu sisi, ikan pari, kerang hingga belut menjadi sajian utama. Hampir semua pedagang menjajakan.

Yang menarik adalah, setiap pedagang memiliki aliran air mengalir yang begitu melimpah. Semua baskom dan akuarium dialiri air agar semua ikan terus hidup dan segar. Airnya dibiarkan tumpah karena air baru akan terus datang. Selain itu, pembuangan air di lantai juga dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada kesan becek. Saya jadi sempat kepikiran, ini pasar ikan atau akuarium. Tidak ada kesan kotor dan bau. Pembeli dimanjakan dengan memilih ikan segar dan suasana yang menarik.

Belut

Lain lagi dengan pasar ikan di kota Busan. Di kota terbesar kedua di Korea ini, pasar ikannya konon dikenal paling akbar di seluruh negeri ginseng. Hampir sama dengan di Tongyeong, hanya saja ikan disini lebih beraneka macam. Para pelanggan akan membeli ikan yang masih segar, dibersihkan lalu bisa dimasak di lantai atas. Jadi, beli ikan segar lalu menyantapnya di restoran. Sebenarnya secara konsep sama dengan dimana-mana, hanya masalah kebersihan dan kenyamanan saja yang berbeda.

Baik di Tongyeong maupun di Busan, para turis berduyun-duyun datang ke pasar ikan. Kunjungan ke pasar ikan menjadi sebuah ritual "wajib" yang harus dijalani bila ingin disebut telah bertandang ke kedua kota tersebut. Di sini, para pelancong yang tidak ingin membeli ikan dapat membuka pengalaman baru tentang aneka ikan laut sambil ber-selfie ria. Namun kalau ingin menikmati gurihnya produk laut dengan saus ala Korea bisa membelinya dengan harga relatif miring dibandingkan di restoran.

Daging ikan siap masak

Banyak orang kadang terjebak pada pemikiran bahwa yang bisa dijual kepada turis itu hanya situs-situs kuno ataupun alam yang begitu indah memukau. Padahal, kebutuhan manusia itu begitu beragam. Manakala mampu melakukan kemasan yang menarik maka semua bisa menjadi komoditi yang mendatangkan devisa. Indonesia dipastikan tidak kalah dengan Korea karena potensi ikannya lebih bervariasi dan lautnya juga jauh lebih luas.

Penulis adalah WNI yang tinggal di Korea. (try/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads