"Awal mulanya karena produk barang ini, dulu aturanya RS harus menghancurkan limbah RS, lalu KLHK melarang. Karena ditakutkan buangan asapnya itu menjadi limbah udara. Kemudian dicabutlah larangan itu, tetapi tidak ada payung lainnya," ujar Ketua Komisi IX Dede Yusuf.
Hal tersebut disampaikannya di sela-sela rapat tertutup dengan BPOM di Gedung DPR, Kompleks Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/7/2016). Komisi IX kepada Kemenkes sempat memberi rekomendasi terkait hal ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penghapusan soal limbah RS yang tidak boleh dihancurkan dilakukan pada tahun 2013. Sejak itu, tak ada payung hukum lain yang mengatur persoalan tentang limbah rumah sakit dan pada akhirnya, bekas tempat obat pun dapat disalahgunakan.
"Kalau dihancurkan kan tidak bisa dipakai lagi. Jika RS nggak boleh punya alat membakar, maka kemenkes harus bertanggung jawab, bisa saja melalui Bio Farma atau direktorat apa, harus diambil itu (limbah RS)," jelasnya.
"Karena limbah itu, seperti suntikan, ampul, infus dan sebagainya itu mau dibuang ke mana? Nah ini kan jadi bekas pakai, dan kita nggak tahu tiba-tiba besok kita dengar lagi infus palsu, kan kita nggak tahu," imbuh Dede.
Untuk itu, Komisi IX memiliki concern agar ada pihak yang bertanggung jawab soal penghancuran limbah RS. Agar bagaimana limbah-limbah tersebut tidak mencemari lingkungan, namun juga tidak berpotensi disalahgunakan.
"Jadi ini harus ada yang bertanggung jawab, pengancuran ini, itu rekomendasi kami. Dengan KLHK, karena yang melarang itu kan KLHK," ucap politisi Demokrat itu.
Apakah mungkin jika limbah RS dikembalikan ke tempat industri pembuatnya untuk dihancurkan?
"Kalau ampul itu kan harus pecah, ini kan simpelnya, tapi kan kalau industri ngirim, kemudian dia kan tidak tau kapan itu harus diambil. Jadi harus ada institusi. Kalau dulu ada swasta masing-masing, jadi RS yang menghancurkan sendiri," jawab Dede.
"Nah semenjak KLHK meminta agar hati-hati, dan tidak ada limbah udara, ini disetop, nah ketika setop itu tidak ada yang menghancurkan limbah," tambah dia.
Dalam kasus vaksin palsu ini, Bareskrim Polri sudah menetapkan 23 tersangka. Termasuk dari pengepul limbah RS yang kemudian didaur ulang untuk vaksin palsu.
"Nggak hanya pengepul, tapi office boy, cleaning juga ikut mengumpulkan, dijual Rp 15 ribu perbotol," tutup Dede. (ear/rvk)











































