Seorang mahasiswa Indonesia mengeluh melalui email, curhat. Ia merasa tidak cocok dengan teman satu kamarnya yang beda kebiasaan. Maklumlah, mereka tidak berasal dari negara dan keyakinan yang sama. Sekilas, ia dalam kondisi yang kurang beruntung sehingga saya harus buru-buru meneleponnya. Sayang, ternyata di email tidak tertera nomornya. Dengan demikian, tidak ada cara lain kecuali hanya membalas email yang bersangkutan.
Setelah sekian lama, kita baru bertemu. Saya sebagai teman menyatakan komplain berat. Mengapa ia tidak menyebutkan nomor hapenya sehingga saya bisa cepat membantu. Dan jawabannya, sungguh sangat mengagetkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cape deh," jawab saya singkat.
Memang, salah satu yang paling murah di Korea adalah sambungan internet melalui WiFi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, kecepatan internetnya termasuk yang paling tinggi di dunia. So, siapapun bisa berkomunikasi dengan WA gratis, plus dengan suara yang sangat nyaring. Hidup menjadi sangat mudah dibuatnya. "Kalau komunikasi lancar, maka segala masalah bisa diselesaikan dengan cepat," demikian kata orang bijak.
Ketika tiba di airport Incheon misalnya, WiFi gratis sudah menyambut dan tidak lelet meski digunakan banyak orang. Wisatawan langsung bisa ber-halo-halo dengan orang di kampung sambil selfie. Begitu naik bus, eh WiFi nyangkut lagi. Bahkan saat naik kereta dan di mal pun ia masih terus hidup.
Kota Busan (Foto: M Aji Surya/detikcom) |
Mungkin pengunjung negara ginseng ini agak heran juga, saat jogging di pinggir kali Han misalnya, ada saja sinyal WiFi yang menyala. Tidak hanya itu, di saat pacaran di tepi pantai seperti di Haeundae di Busan pun, internetan masih sangat lancar. Pokoknya dijamin wuswuswus.
Pantai Haeundae di Busan full WiFi (Foto: M Aji Surya/detikcom) |
Cuma jangan salah, di balik WiFi yang begitu gencar, ancaman juga sangat besar. Ideologi apapun saat ini mudah menular. Bukan lewat pidato-pidato agitasi di lapangan atau di rumah terpencil di pinggiran kota. Namun bisa menyusup melalui sinyal-sinyal WiFi yang marak dimanapun. Ajaran radikal menjadi demikian mudah diakses oleh siapapun tanpa batas. Anak-anak yang pikirannya masih polos sangat gampang terpengaruh oleh paham-paham yang tidak bersahabat, baik melalui situs-situs yang terus bermunculan maupun media sosial yang begitu menjamur.
Kalau hanya siap memasang WiFi dimanapun tanpa siaga dengan sistem penangkal dampak negatifnya maka sama saja "bunuh diri". Tak pelak, kini banyak negara mengerahkan ribuan personelnya hanya untuk membuat sistem "pengintip" jaringan radikal dan para penggunanya. Bahkan hampir semua pemerintahan juga membangun tim "pengintip" situs-situs pornografi dan para penggunanya demi perlindungan masyarakat.
Di Korea misalnya, meskipun negaranya boleh dikatakan liberal. Namun video porno di dunia maya sudah diblokir sedemikian rupa. Bahkan banyak yang berkeyakinan bahwa intel-intel pemerintah, melalui sistem tertentu, terus memelototi situs-situs radikal dan orang-orang yang mengaksesnya. Sekali dua kali mengkases bisa jadi akan terekam. Namun bila berkali-kali apalagi mengunggah ke dalam media sosial, dipastikan akan diikuti. Itulah mengapa, beberapa warga asing ada yang kemudian didepak atau dideportasi dari negeri ginseng hanya karena salah menggunakan internet. Tidak ada kompromi.
Bus umum di Seoul bertabur WiFi (Foto: M Aji Surya/detikcom) |
Jujur saja, masalah pengawasan dunia maya ini sangat kompleks dan memakan biaya yang tidak sedikit. Namun, untuk mengambil manfaat dari internet yang demikian besar, maka Pemerintah manapun tidak boleh maju mundur dalam mengambil kebijakan yang tegas. Jangan pula, internet lelet dan pengawasanpun lemah. Kalau itu yang terjadi maka kemajuan sulit diraih dan potensi masalah gampang merebak.
*Penulis adalah WNI yang tinggal di Korea Selatan (try/try)












































Kota Busan (Foto: M Aji Surya/detikcom)
Pantai Haeundae di Busan full WiFi (Foto: M Aji Surya/detikcom)
Bus umum di Seoul bertabur WiFi (Foto: M Aji Surya/detikcom)