"Rekam medis itu sebenarnya suatu yang sifatnya rahasia, tidak secara awam, kalau punya terus dikeluarkan begitu saja itu tidak benar," ungkap Nila di Kantor Kemenkes, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jaksel, Minggu (17/7/2016).
Menurut Nila, rekam medis tidak bisa sembarangan diberikan kepada pihak tertentu. Terlepas dari kerahasiaannya, rekam medis para juga dibutuhkan Kemenkes dan Bareskrim untuk melakukan penyidikan kasus vaksin palsu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Atau dari kemenkes ada ditulis kemudian kita mencurigai nama vaksinnya termasuk dalam list yang palsu, ternyata yang diambil oleh Bareskrim dan kita uji lab, kita uji BPOM dan benar palsu ternyata palsu, inilah yang harus kita telusuri," imbuhnya.
Rekam medis bisa dipergunakan oleh Kemenkes dan Bareskrim karena merupakan pihak yang berwenang dalam permasalahan ini. Namun jika rekam medis diberikan kepada umum, termasuk YLBHI, hal tersebut tidak dapat dibenarkan.
"Saya kira ini tidak bisa (diberikan ke YLBHI). Karena ini kerahasiaan seseorang. Jadi kalau rekam medis diambil oleh masyarakat kita akan kehilangan data," kata Nila.
"Itu kerahasiaan seseorang. Tapi itu akan diambil oleh kita dan Bareskrim juga berwenang untuk mengambil itu," sambungnya.
Sebelumnya, sejumlah orang tua anak korban vaksin palsu dari RS Harapan Bunda mendatangi Kantor YLBHI. Mereka meminta bantuan hukum sehingga rumah sakit bisa bertanggung jawab.
Untuk keperluan itu, YLBHI meminta pihak rumah sakit memberikan rekam medis anak-anak yang pernah mendapatkan vaksin. Jika pihak keluarga menyetujui, YLBHI mengklaim rekam medis dapat dibuka.
"Kita ingin kaji dulu bagaimana sebenarnya, apa kejadiannya, untuk itu kita kita ingin membuka rekam medis. Rekam medis ini milik RS, tapi atas persetujuan keluarga bisa dibuka," kata Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma, Sabtu (16/7). (elz/mad)











































