IDI: Majelis Kehormatan Bisa Beri Sanksi Dokter Pemberi Vaksin Palsu

IDI: Majelis Kehormatan Bisa Beri Sanksi Dokter Pemberi Vaksin Palsu

Yulida Medistiara - detikNews
Sabtu, 16 Jul 2016 10:30 WIB
Foto: Ilustrator Zaki Alfarabi
Jakarta - Ada sejumlah dokter menjadi tersangka kasus vaksin palsu. Orang tua dari bayi yang mendapat vaksin palsu bereaksi keras atas kasus ini. Lalu bagaimana dengan dokter yang ikut terlibat kasus ini?

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan ada Majelis Kehormatan Dokter Indonesia dalam organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bisa menangani perkara pelanggaran yang dilakukan dokter. Majelis Kehormatan itu juga bisa menerima pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan oleh dokter.

"Di bagian kita (IDAI) ada dewan etiknya, di IDI juga ada, di Majelis Kehormatan Dokter Indonesia juga ada. Di Majelis Kehormatan Dokter Indonesia ada proses yang menilai etik, banyak prosesnya kalau ada pengaduan masyarakat bisa semuanya di Majelis Kehormatan Dokter Indonesia, ada alurnya," kata Ketua IDAI, Aman Bhakti Pulungan, ketika dihubungi detikcom, Jumat (15/7/2016) malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aman mengatakan, aparat penegak hukum harus memastikan dulu peran dokter dalam vaksinasi. Perlu dipastikan peran dokter sebagai pembeli dan penyuntik vaksin atau hanya menyuntikkan vaksin ke anak.

"Keterlibatan dokter kan polisi yang melihat, kan masalahnya belum tentu dibeli dari sumber. Kita nggak berandai-andai kita kasih kesempatan, kita nggak bisa mengatakan itu salah. Dia (dokter) harus dipastikan dulu, makanya kita akan mendukung proses hukum yang berlaku dan kita akan menyiapkan keterangan kita dan sedang menyiapkan ahli-ahli dan meneliti," kata Aman.

Aman tak mau menyebut soal sanksi pemecatan kepada dokter pelaku kejahatan vaksin palsu. Ia belum dapat memastikan sanksi apa yang akan diberikan kepada dokter yang terbukti sebagai oknum vaksin palsu. Menurutnya, keterlibatan dokter harus diusut tuntas.

"Saya belum bisa memastikan itu (sanksi apa), kita lihat dulu dong. Kita ada prosesnya. Kita belum tahu pasti, baru kita tahu pertama dari media. Kalau dia hanya beli dan menyuntikan, tapi enggak tahu dari mana, bagaimana? Dokter boleh menyediakan obat, tapi enggak ada aturan dia beli di mana, walaupun harus di distributor," ujarnya.

"Harus lihat di bagian atau proses mana dia salah," imbuh Aman.

Ada 23 tersangka dalam kasus vaksin palsu ini. Tiga tersangka di antaranya berstatus dokter, yakni inisial I dari RS Harapn Bunda, inisial ARA di Klinik Pratama Adipraja, dan inisial HUD di RSIA Sayang Bunda.

(dnu/fdn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads