Penjelasan Lengkap Hakim Lilik-Binsar yang Menggugat Syarat Hakim Agung Nonkarier

Penjelasan Lengkap Hakim Lilik-Binsar yang Menggugat Syarat Hakim Agung Nonkarier

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 14 Jul 2016 14:34 WIB
Binsar Gultom (ari/detikcom)
Jakarta - Syarat hakim agung nonkarier digugat oleh hakim tinggi Lilik Mulyadi dan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Binsar Gultom. Menurut keduanya, syarat menjadi hakim agung dari jalur nonkarier terlalu ringan dibandingkan dari kalangan internal.

"Dalam permohonan judicial review itu tidak pernah sepatah kata pun mempersoalkan person hakim agung nonkarier maupun karier yang masih eksis bertugas di MA, tetapi yang dipersoalkan masalah norma hukum terkait rekrutmen calon hakim agung dari nonkarier dan karier yang dinilai diskriminatif," kata Binsar kepada detikcom, Kamis (14/7/2016).

Syarat calon hakim agung nonkarier diatur dalam Pasal 6B ayat 2, Pasal 7 huruf (a) dan Pasal 7 huruf (b) UU Mahkamah Agung.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam permohonan tersebut para pemohon mengatakan kehadiran para calon dari nonkarier itu dibutuhkan MA, apabila mereka memiliki keahlian/kepakaran di bidang hukum tertentu seperti ahli di bidang money laundering, ahli perbankan, perpajakan, hukum lingkungan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan lain-lain. Selain itu juga berusia minimal 55 tahun, memiliki masa kerja/pengalaman hukum minimal 25 tahun dan bergelar doktor ilmu hukum.

"Kalau nonkarier itu memiliki bidang hukum pidana, perdata, agama, tata usaha negara sebagaimana bidang kamar yang ada di MA, pada prinsipnya para hakim karier yang sehari-hari bersidang di pengadilan pasti mampu menyelesaikan kasus-kasus itu tanpa kehadiran nonkarier. Akan tetapi ketika hakim karier membutuhkan keahlian tertentu di luar bidang kamar tersebut di atas, tentunya terbuka peluang bagi nonkarier untuk diterima sebagai hakim agung. Jadi bukan tertutup," papar Binsar.

Selama ini menurut Pasal 7 huruf (b) UU MA, keahlian hukum calon dari nonkarier tidak dirinci secara jelas. Bahkan masa kerja dan pengalaman di bidang hukum/akademis hanya paling rendah 20 tahun dengan usia minimal 45 tahun dan berpendidikan doktor.

"Kami nilai kehadiran ketentuan pasal ini sangat diskriminatif dan merugikan hak konstitusional para hakim karier yang puncak kariernya menjadi hakim agung," ujar Binsar.

Dalam praktiknya, hakim karier mulai bertugas sebagai hakim dari bawah sejak berusia 25 tahun dengan menjadi hakim tingkat pertama di kelas II, kelas IB, kelas IA, kelas IA Khusus. Lalu menjadi hakim tinggi selama 3 tahun dengan pangkat/golongan IVD dan bergelar MH atau Dr rata-rata berpengalaman sebagai hakim minimal 28 tahun dengan usia di atas 55-60 tahun.

"Sehingga hakim karier memohon agar persyaratan untuk menjadi calon hakim agung diberikan persyaratan berpengalaman sebagai hakim plus hakim tinggi paling rendah 20 tahun, berusia minimal 55 tahun," ucap Binsar.

Dari pengalaman kerja para hakim karier ini dapat disimpulkan, bahwa masa kerja sebagai hakim yang memiliki profesi di bidang hakim di atas 28 tahun tersebut sesungguhnya tidak pernah dialami oleh para calon dari nonkarier. Jika ukurannya karena para nonkarier berpendidikan doktor, para hakim karier pun sekarang rata-rata telah berijazah doktor ilmu hukum.

"Jadi tolok ukurnya bukan terletak di segi pendidikan yang tinggi, akan tetapi profesionalitas sebagai hakim mutlak dimiliki oleh kandidat hakim agung, sehingga penegakan hukum dan keadilan itu tercipta secara murni dan konsekuen, bukan berdasarkan politik hukum," cetus Binsar.

Menyangkut integritas-moral, menurut Binsar, hal itu tergantung kepada pribadi masing-masing hakim (karier maupun nonkarier). Oleh sebab itu terdapat badan pengawasan internal MA, eksternal yaitu Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mencegah dan memberantas pelanggaran etik dan pelangaran hukum.

"Nah, karena kehadiran ketentuan pasal di atas sangat merugikan hak konstitusional para pemohon dan para hakim karier pada umumnya, maka norma hukum tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 yiatu berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 yakni berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Serta Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945 yaitu berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif," papar Binsar.

"Dengan demikian kami berharapkan permohonan ini dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi," pungkas Binsar. (asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads