"Jangan-jangan beli di Glodok (pusat perbelanjaan elektronik di Jakarta), di bawah Rp 200 juta tuh kabel," ucap Ahok, kesal, di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (14/7/2016).
Dulu, saat kasus matinya pompa air pada Februari 2015, Ahok menyuruh mengganti kabel yang menyalurkan listrik dari transformator (trafo) listrik ke mesin pompa air. Namun petugas terkait kala itu bilang, butuh Rp 200 juta dan harus menunggu lelang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, empat mesin pompa air mati. Padahal pompa itu berfungsi menyalurkan air dari Waduk Pluit ke laut. Bila pompa itu mati, risiko Jakarta tergenang banjir bisa membayangi, karena air hujan yang turun dan mengalir ke Waduk Pluit tak bisa dialirkan ke laut secara memadai.
"Jadi gara-gara kabel, kamu mau biarkan empat mesin enggak menyala? Ini hujan kan La Nina, jadi enggak ada cerita Juni-Juli enggak hujan, akan terus hujan loh, makin ke Januari-Februari makin gede," kata Ahok.
Bila situasi itu berlangsung, maka kejadian 2015 bisa terulang kembali. Istana Negara bisa 'tenggelam', begitu kata Ahok. Saat itu, alasannya listriknya tidak mengalir.
"Jadi kalau laut lagi pasang, air kiriman Bogor banyak, kamu buka pintu (pintu air Manggarai), tenggelam istana. Pasti tenggelem, kejadian 2015 lagi," tuturnya.
Baca juga: Pompa Waduk Pluit Mati, Kadis Tata Air DKI Bantah Ada Sabotase
Dia menjelaskan, pompa air itu dibangun oleh kontraktor dan kemudian diambil alih pengelolaannya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk perawatan (maintenance) jangka panjang, ada pihak lain yang menangani. Untuk hal ini, Ahok curiga.
"Jadi mereka bisa jamin ada servis karena ada service. Pagi kekurangan duitnya," kata Ahok menduga-duga apakah ada pihak lain yang sengaja membuat pompa tak bekerja.
Kini ada empat pompa yang mati, enam pompa masih berfungsi. Namun situasi bisa berubah berbahaya bila tiga pompa dari enam pompa yang tersisa menyusul mati. Ahok berburuk sangka, jangan-jangan ada sabotase. (dnu/rvk)











































