Kisah Kafe Jamban di Semarang yang Tuai Pro Kontra, Mau Coba?

Kisah Kafe Jamban di Semarang yang Tuai Pro Kontra, Mau Coba?

Angling Adhitya Purbaya - detikNews
Jumat, 01 Jul 2016 08:47 WIB
Foto: Angling/detikcom
Semarang - Media Sosial dua hari ini dihebohkan dengan kehadiran Kafe Jamban. Sesuai namanya, makanan di Kafe ini dihidangkan di atas jamban jongkok sebagai wadah dan kursinya dari jamban duduk. Hal itu kemudian menuai pro dan kontra publik di media sosial.

Detikcom menelusuri keberadaan cafe tersebut yang berada di Jalan Untung Suropati nomor 445, Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah. Bertempat di lantai dua bangunan ruko, kafe tersebut nampak tidak ada kegiatan di siang hari. Kami pun bertamu ke rumah pemilik kafe yaitu Dr. dr. Budi Laksono (52) yang berada di belakang kafe.

Budi menyambut dengan ramah dan langsung menanggapi soal Kafenya yang banyak dibicarakan netizen. Kafe tersebut ternyata bukan Kafe sembarangan yang bisa dikunjungi setiap waktu, melainkan tempat diskusi membahas soal sanitasi di Indonesia khususnya Semarang.

"Ini sudah dua bulan buka. Ada sesi bukanya. Biasanya pukul 18.30 sampai 19.30," kata Budi saat ditemui detikcom di rumahnya, Kamis (30/6/2016).

Kafe itu ternyata bukan bertujuan untuk komersil dan mencari sesnsasi. Budi menjelaskan Kafe tersebut tempat berkomunikasi dan membahas soal jamban. Ia sudah sejak lebih dari 10 tahun lalu memang terjun untuk membantu permasalahan sanitasi di Indonesia secara mandiri bersama para relawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harus reservasi dulu karena hanya ada 8 kursi. Kita harus siapkan makanan yang cocok untuk pengunjung," terangnya.

Dalam diskusi di Kafe Jamban, Budi akan memberikan persentasi terkait pentingnya jamban dan juga kondisi sanitasi yang ternyata masih banyak warga belum memiliki jamban di rumah mereka.

Usai diskusi, maka sesi yang disebut "atraksi" yaitu mengambil makanan dan minuman dari jamban dilakukan. Tentu saja jamban tersebut sangat steril karena sebelum menyeduh hidangan akan dibersihkan dengan teliti.

"Ada kira-kira 200 orang yang ke sini. Rata-rata yang datang orang berpendidikan dan mereka tidak merasa jijik karena sebelumnya kita memang melakukan diskusi," tandasnya.

Kampanye dengan Kafe Jamban tersebut ternyata tidak hanya menarik komentar positif soal kreatifitas, namun banyak juga yang berkomentar miring bahkan menghujat dengan membawa nama agama. Menanggapi hal itu, Budi tidak keberatan karena justru memberikan kesempatan bagi dia untuk menjelaskan soal jamban.

"Ya memang dibahas sisi buruknya, tapi justru kita bisa masuk angle menjelaskan sisi baiknya. Banyak yang menghujat, tapi biasanya paling keras itu yang, maaf, edukasinya paling rendah. Biasanya over responsif, terlalu fanatik dalam pendapat. Mahasiswa lingkungan yang datang ke sini pun tidak masalah," terangnnya.

Bahkan seorang pengguna facebook sampai membuat petisi agar tayangan soal Cafe Jamban tidak ditayangkan di televisi. Namun Budi juga menanggapinya santai, "semua orang sekarang bisa buat petisi, tidak apa-apa".

Dengan beredarnya foto-foto Kafe Jamban, kini keberadaannya justru membuat penasaran. Lokasinya yang tidak mencolok memang kadang sulit untuk ditemui.

"Saya juga ada Kafe 'normal' di lantai bawah. Dikelola para relawan," imbuh Budi (alg/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads