Komisi I DPR: Pemerintah Harus Gunakan Upaya Multijalur Bebaskan 7 WNI

Komisi I DPR: Pemerintah Harus Gunakan Upaya Multijalur Bebaskan 7 WNI

Ferdinan - detikNews
Senin, 27 Jun 2016 22:38 WIB
Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais (Foto: Bagus Kurniawan)
Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mengatakan, pemerintah harus menggunakan upaya multijalur untuk membebaskan tujuh WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina. Upaya multijalur bisa dilakukan dengan menggunakan jaringan masyarakat sipil.

"Menurut saya sebaiknya pemerintah tetap saja segera melakukan upaya-upaya pembebasan dengan tidak terlalu banyak publikasi tetapi efektif. Dengan cara melibatkan jaringan masyarakat sipil. Tidak hanya mengandalkan aparat pemerintah saja, tapi juga jaringan masyarakat sipil yang kemarin juga terlibat dalam pembebasan itu," kata Hanafi usai mengikuti buka puasa bersama di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (27/6/2016).

Upaya diplomasi dan negosiasi menurut Hanafi memang harus diprioritaskan. Namun pemerintah disarankan tidak hanya mengandalkan komunikasi antara RI dengan otoritas Filipina.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya katakan diplomasi dan negosiasi yang dilakukan pemerintah harus multijalur yang tidak melibatkan kekerasan dengan cara pendekatan identitas, pendekatan agama, pendekatan emosional. Karena terus terang antara Flipina dan Indonesia, jaringan masyarakat sipilnya kuat. Karena banyak sekali relasi-relasi kedua jaringan ini,masyarakat sipil kedua negara sudah jauh banyak terlibat di berbagai macam resolusi persoalan konflik sebelumnya," imbuhnya.

Waketum PAN ini menghendaki agar permintaan uang tebusan tidak menjadi pembicaraan utama dalam negosiasi. Permintaan uang tebusan bila pun dipenuhi ditegaskan Hanafi seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan.

"Kalau tebusan itu jadikanlah itu opsi terakhir, karena terus terang kalaupun penebusan itu hanya bisa dilakukan perusahaan. Negara tidak bisa punya kebijakan menebus ransum. Karena ini sebenarnya tanggungjawab perusahaan dan biasanya juga perusahaan juga sudah pny kontrak asuransi keselamatan dengan perusahaan asuransi," ujar dia.

Selain itu Hanafi mengingatkan agar pemerintah RI mendorong kesepakatan konkret soal keamanan wilayah perairan. Nota kesepahaman antara RI, Filipina dan Malaysia soal patroli laut disebut Hanafi tidak berjalan efektif karena berulangnya kasus penyanderaan.

"Saya melihat MoU 3 negara kemarin di depan Presiden Jokowi itu ternyata tidak maksimal di level lapangan. Level implementasi masih banyak kekurangan. Sementara kejadian yang terulang lagi ini membuat pemerintah kita sudah tidak bisa mentolerir seperti yang dikatakan Menlu," imbuhnya.

Kapal TB Charles dibajak dalam perjalanan dari Philipina Cagayan De Oro Port menuju Samarinda pada 20 Juni 2016. TNI Angkatan Laut yang menginvestigasi penyanderaan 7 WNI merilis kronologi penyanderaan yang dilakukan secara terpisah di Laut Jolo, Filipina.

Pada awalnya, kelompok pembajak menculik tiga orang ABK yaitu Capt. Fery Arifin (nahkoda), Muh. Mahbrur Dahri (KKM) dan Edy Suryono (Masinis II), serta merampas semua alat komunikasi kapal.

Setelah kejadian itu, kapal tersebut dilepas dan melanjutkan perjalanan dengan sisa ABK 10 orang.

Namun dalam perjalanan yang hanya berselisih waktu 1 jam 15 menit dengan kejadian pertama, Kapal TB Charles kembali dibajak oleh kelompok lain dengan menggunakan 3 perahu yang beranggotakan 8-10 orang.

Mereka menculik 4 orang ABK yaitu, Ismail (mualim I), Robin Piter (juru mudi), Muhammad Nasir (masinis III), dan Muhamad sofyan (oilman).

(fdn/dnu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads