Karena ganti rugi tak kunjung dibayar, warga melakukan penebangan liar di sekitar tanah yang disengketakan. Aksi itu menyebabkan lahan gundul sehingga kemungkinan terjadinya longsor seperti beberapa tahun silam yang menimbulkan korban jiwa dan terputusnya jalur Waduk Cirata sebagai alternatif jalan Purwakarta-Cianjur.
Pada awal pertemuan itu, Dedi sempat naik pitam karena warga dianggap semena-mena melakukan penebangan pohon tanpa memikirkan akibatnya. Dia akhirnya tahu penebangan tersebut didasari kekesalan warga yang tak kunjung merealisasikan ganti rugi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemarahan Dedi tanpa alasan. Pasalnya di masa dirinya menjadi Wakil Bupati Purwakarta sekira tahun 2003 pernah terjadi longsor besar yang menyebabkan korban jiwa dan jalan terputus.
"Iyeu teh urusan leutik ngan saukur nungtut mayar. Tapi dampakna gede. Bisa jadi longsor kaulang deui, tapi saya yakin mun terus dituaran eta tangkal leuwih dahsyat. (Ini itu urusan kecil, hanya menuntut pembayaran. Tapi dampaknya besar. Bisa jadi longsor terulang lagi, tapi saya yakin kalau terus pohon ditebang akan lebih dahsyat)," bebernya kembali.
Setelah menasihati perwakilan warga tersebut, Dedi memberikan solusi dengan berencana membuka komunikasi dengan Perhutani untuk pembelian lahan tersebut sehingga nantinya menjadi milik Pemkab Purwakarta. Sementara uang yang diperoleh Perhutani harus segera dibayarkan pada warga sesuai putusan MA. Namun hal tersebut akan dikonsultasikan terlebih dahulu dengan para aparat hukum agar ke depannya tidak timbul permasalahan serupa.
Sebagai solusi jangka pendek Pemkab Purwakarta akan membeli pohon-pohon yang belum ditebang oleh warga. Hal itu untuk meminimalisir terjadinya penebangan liar yang dikhawatirkan akan menimbulkan bencana besar.
"Kalau pohon yang sudah dibeli itu masih ditebang maka akan saya bawa ke ranah hokum. Terutama yang akan saya cari adalah bapak, sebagai orang yang dituakan. Saya ini bukan menengahi sengketa ini, tapi ini demi menyelamatkan lingkungan. Pemkab sempat bermediasi sampai ke Polda soal ini, tapi sampai sekarang tidak ada jawabannya," katanya.
Sementara itu salah seorang tokoh masyarakat Gunung Cantayan, Uken Soeherman (76), menjelaskan, sengketa tersebut telah berlangsung sejak tahun 1984 silam. Saat itu masyarakat di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cianjur menggarap lahan yang berada di Gunung Cantayan milik perorangan. Namun seiring waktu lahan seluas 88,9 hektar tersebut berubah kepemilikan menjadi milik Perhutani.
Sekira tahun 1998 warga melakukan gugatan ke pengadilan hingga akhirnya keluar putusan MA yang mengharuskan Perhutani membayar ganti rugi Rp 9,7 miliar. Namun hingga kini uang tersebut tidak kunjung diberikan sehingga membuat warga kesal dan melampiaskannya dengan menebang pohon dan menjual kayu.
"Kalau memang Pemkab Purwakarta akan membeli lahan atau pohon itu saya siap kembali menjadi orang terdepan yang akan menjaganya. Kalau pun nantinya ada penebangan liar saya siap bertanggung jawab," tukas Uken. (trw/trw)