Berdasarkan data yang dikumpulkan detikcom, Kamis (16/6/2016), pengaturan soal kewenangan penyadapan ini termaktub dalam Pasal 14 ayat 1 huruf a draf RUU KPK. Pasal itu berbunyi:
Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi pendukung penyadapan harus seizin ketua pengadilan, menyitir praktik hukum di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu. penyadapan diatur dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968, Foreign Intelligence Surveillance Act 1978, The Pen Register and Trap and Trace Devices Chapter of Title 18 in 18 U.S.C 3121-3127. Tindakan penyadapan dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968 harus mendapatkan perintah pengadilan untuk pelaksanaannya.
Pendukung penyadapan seizin pengadilan juga merujuk Prancis. Di negera tersebut, tindakan penyadapan diatur ketat dan harus benar-benar seizin pengadilan. Penyadapan ini diawasi oleh sebuah komisi independen. Anggota komisi ini ditunjuk oleh Presiden Prancis atas usulan Wapres untuk masa jabatan 6 tahun.
Tapi bagaimana dengan di Indonesia? Dalam tiga bulan terakhir, KPK menangkap para aparat pengadilan yang tersangkut masalah hukum. Mereka yang ditangkap KPK adalah:
1. Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto. Dari tangkapan ini menyeret nama-nama hakim agung.
2. Panitera PN Jakpus Edy Nasution. Dari tangkapan ini menuntun KPK ke rumah Sekretaris MA Nurhadi. Sejumlah orang dijadikan saksi, beberapa di antaranya tidak memenuhi panggilan KPK.
3. Dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu, Janner Purba dan Toton serta panitera PN Bengkulu. Janner juga Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kepahiang, Bengkulu.
4. Panitera PN Jakut.
Sebelumnya, KPK juga menangkap pejabat pengadilan karena korupsi, di antaranya:
1. Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro.
2. Hakim Dermawan Ginting.
3. Hakim Amir Fauzi.
4. Wakil Ketua PN Bandung Setyabudi Tejocahyono.
5. Hakim ad hoc PHI Bandung Imas Dianasari.
6. Hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Ibrahim.
7. Hakim PN Jakpus, Syarifuddin.
8. Hakim ad hoc tipikor PN Semarang, Kartini Marpaung.
9. Hakim PN Semarang Pragseno.
10. Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Nah, apa jadinya jika KPK benar-benar harus seizin pengadilan? (asp/erd)











































